
BERITATERBERITA – Penangkapan seorang warga yang berprofesi sebagai pengecer bahan bakar minyak (BBM) di wilayah Sawarna oleh aparat kepolisian dari Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Lebak berbuntut panjang.
Wakil Ketua Ormas Jawara Banten Bersatu (JBB) tingkat kecamatan di Bayah, Aan Raipudin, secara terbuka menyampaikan ketidakpuasannya terkait insiden penangkapan tersebut.
Menurut Aan Raipudin, tindakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, terutama mengenai prosedur dan dasar hukum penangkapan.
Lebih lanjut, Aan Raipudin mengungkapkan bahwa pihaknya menerima banyak aduan dari masyarakat terkait dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum tertentu dalam institusi kepolisian.
Salah satu dugaan yang mencuat adalah praktik pemerasan, yang dikenal dengan istilah ’86’, yang menurut laporan masyarakat kerap terjadi saat penggeledahan atau penangkapan.
Aan Raipudin menegaskan bahwa jika praktik-praktik yang merugikan masyarakat ini terus dibiarkan tanpa adanya tindakan tegas, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri akan semakin menurun.
Oleh karena itu, Aan Raipudin mendesak Kapolres Lebak, Kapolda Banten, hingga Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang terbukti melanggar aturan dan menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Penangkapan pengecer BBM di Sawarna ini menambah daftar panjang isu terkait distribusi BBM di daerah terpencil. Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sebenarnya telah mengatur pendistribusian BBM hingga ke pelosok negeri melalui berbagai program.
Namun, kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap BBM dengan harga terjangkau masih menjadi kendala. Banyak warga di daerah seperti Sawarna yang terpaksa membeli BBM dari pengecer dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Fenomena pengecer BBM ini muncul karena keterbatasan jumlah SPBU di daerah-daerah terpencil. Selain itu, jarak tempuh yang jauh dan kondisi infrastruktur yang kurang memadai membuat masyarakat lebih memilih membeli BBM dari pengecer meskipun harganya lebih mahal.
Pemerintah sendiri telah berupaya mengatasi masalah ini melalui program BBM satu harga. Program ini bertujuan untuk menyamakan harga BBM di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil dan tertinggal.
Data terbaru dari BPH Migas per Februari 2025 menunjukkan bahwa program BBM satu harga telah menjangkau lebih dari 400 titik di seluruh Indonesia. Namun, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk masalah logistik dan pengawasan.
Terkait dengan praktik ’86’ atau pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum kepolisian, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap kode etik dan hukum yang berlaku. Jika terbukti benar, oknum-oknum tersebut harus mendapatkan sanksi yang tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Iwan H)