
Dua tahun kemudian, mereka mendirikan partai baru bernama Partai Thai Rak Thai, yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Pheu Thai (Partai Merah), partai yang saat ini menaungi Perdana Menteri Thailand yang juga merupakan anak kandung Thaksin.
Partai Thai Rak Thai dikenal sebagai partai yang sangat populis, dengan visi dan program kerja yang benar-benar ditujukan untuk menarik simpati masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah di daerah pedesaan.
Berkat popularitasnya, pada pemilihan umum pertamanya di tahun 2001, Partai Thai Rak Thai berhasil meraih suara mayoritas yang mengantarkan Thaksin Shinawatra menjadi Perdana Menteri Thailand.
Pada masa kepemimpinan pertamanya, kondisi Thailand bisa dikatakan mengalami peningkatan di berbagai sektor.
Thaksin meluncurkan program pelayanan kesehatan universal yang murah, mirip dengan BPJS di Indonesia, yang terbukti sangat membantu rakyat kecil.
Ia juga melakukan banyak pembangunan infrastruktur, termasuk jalan raya, layanan transportasi umum, dan bandara.
Selain itu, ia juga menggagas program pemberantasan narkoba.
Hebatnya, meskipun menjalankan program-program yang ambisius, rasio utang Thailand dan indeks korupsinya justru mengalami penurunan, yang merupakan indikasi positif bagi perekonomian negara.
Karena keberhasilannya ini, pada pemilihan umum berikutnya di tahun 2005, Partai Thai Rak Thai kembali memenangkan pemilu, dan Thaksin kembali menjabat sebagai Perdana Menteri untuk periode kedua.
Dalam sejarah politik Thailand, Thaksin menjadi Perdana Menteri pertama yang berhasil menjabat selama satu periode penuh, sebuah pencapaian yang cukup signifikan mengingat dinamika politik Thailand yang seringkali tidak stabil.
Namun, naiknya Thaksin untuk periode kedua ini ternyata tidak disambut baik oleh lawan-lawan politiknya, termasuk dari kalangan militer dan monarki.
Selain itu, berbagai borok dan skandal Thaksin juga mulai terungkap ke publik, yang semakin memperburuk situasi politik di Thailand.
Menurut laporan dari The Nation Thailand, sebelum sepenuhnya terjun ke dunia politik dan menjadi Perdana Menteri pada tahun 2001, Thaksin dan mantan istrinya, Khunying Potjaman, sempat melakukan pemindahan kepemilikan saham perusahaan mereka dari atas nama pribadi menjadi atas nama asisten rumah tangga, sopir pribadi, hingga satpam mereka.
Langkah ini diduga dilakukan untuk mengurangi nilai kekayaan Thaksin yang dilaporkan secara resmi.
Setelah ia menjabat sebagai politikus, saham-saham tersebut secara bertahap dialihkan atas nama anak-anak dan kerabatnya.
Isu ini sempat mencuat saat ia mencalonkan diri pada tahun 2001, namun ia berhasil lolos dari jeratan hukum karena undang-undang pada saat itu belum seketat sekarang.
Selain itu, popularitas Thaksin yang sangat tinggi pada saat itu juga membuat banyak orang tidak terlalu peduli dengan isu tersebut.
Ironisnya, saat disidang di Mahkamah Konstitusi, Thaksin berkelit dengan mengatakan bahwa kejadian tersebut hanyalah kesalahan yang tidak disengaja.
Selain kasus dugaan penyembunyian aset, Thaksin juga tersandung kasus terkait kebijakan perang narkobanya, di mana hasil penyelidikan lembaga hak asasi manusia (HAM) di Thailand menemukan sekitar 2.500 kasus kematian yang terkait dengan penindakan hukum di luar pengadilan.
Ia juga banyak dikritik karena melakukan tindakan represif terhadap para demonstran di Thailand Selatan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Namun, kasus-kasus ini tertutup oleh popularitas Thaksin yang sangat tinggi pada saat itu.
Baru pada tahun 2006, saat ia baru saja menjabat sebagai Perdana Menteri untuk kedua kalinya, muncul skandal baru yang akhirnya membuat kondisi politik Thailand menjadi kacau.
Menurut berbagai sumber, tidak lama setelah ia dilantik, keluarga Thaksin diketahui menjual saham perusahaan telekomunikasinya, Shin Corp, kepada investor dari Singapura.
Shin Corp merupakan perusahaan yang menjadi tulang punggung kesuksesan bisnis Thaksin di bidang telekomunikasi.
Masyarakat Thailand marah karena penjualan saham perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Perdana Menteri kepada pihak asing ini diduga tidak dikenai pajak sama sekali melalui skema penjualan khusus.
Sektor telekomunikasi yang merupakan sektor vital dan strategis dengan nilai penjualan yang sangat tinggi pada saat itu diperjualbelikan tanpa dikenai pajak, yang tentu saja merugikan negara.
Hal ini memicu gelombang protes besar dari masyarakat yang menuduh Thaksin dan keluarganya melakukan praktik korupsi dan memiliki konflik kepentingan yang merugikan negara.
Masyarakat menuntut Thaksin untuk mundur dari jabatannya.
Di tengah tuntutan untuk mundur, Thaksin sempat mengeluarkan pernyataan yang meminta agar pemilu ulang segera diadakan.
Ia merasa bahwa jika masih banyak masyarakat yang memilihnya, maka ia masih pantas untuk menjabat sebagai Perdana Menteri.
Usulan ini disampaikan sekitar bulan Maret-April tahun 2006, namun ditolak oleh partai oposisi dan sebagian besar masyarakat yang memutuskan untuk tidak ikut memilih.