
Keputusan yang telah ditetapkan oleh Kemenag ini membawa kabar gembira bagi seluruh umat Islam di Indonesia.
Pasalnya, melalui putusan ini, tidak akan ada perbedaan dalam perayaan Lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah.
Baik organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah yang menggunakan metode hisab, maupun Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyat, akan merayakan Idul Fitri secara bersamaan.
Dalam perhitungan hisab yang dilakukan oleh Tim Falak Kemenag, dijelaskan bahwa kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk menentukan awal bulan Hijriah adalah ketinggian hilal minimal 3 derajat dengan sudut elongasi minimal 6,4 derajat.
Tim Falak Kemenag melalui Cecep Nurwendaya menjelaskan bahwa seluruh wilayah Indonesia tidak memenuhi kriteria tersebut pada saat Sidang Isbat tanggal 29 Maret 2025.
Tinggi hilal di seluruh wilayah Indonesia tercatat antara minus 3,26 derajat hingga minus 1,08 derajat.
Kemudian, sudut elongasi juga berada jauh di bawah kriteria MABIMS, yaitu antara 1,61 derajat di wilayah paling timur hingga 1,21 derajat di wilayah paling barat Indonesia.
“Di seluruh wilayah NKRI tidak memenuhi kriteria visibilitas hilal atau Imkan Rukyat MABIMS (3-6,4 derajat).
Oleh karenanya, hilal menjelang awal Syawal 1446 H pada hari rukyat ini secara teoritis diprediksi mustahil dapat dirukyat, karena posisinya berada di bawah ufuk pada saat matahari terbenam,” kata Cecep.
Meskipun demikian, kelaziman penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah di Indonesia tetap menggunakan kombinasi metode rukyat dan hisab.
“Hisab sifatnya informatif dan kedudukan rukyat sebagai konfirmasi dari hisab,” ujar Cecep.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, telah menjelaskan rangkaian acara yang digelar selama Sidang Isbat.