
BERITATERBERITA – Kabar duka menyelimuti Myanmar dan Thailand setelah gempa bumi dahsyat berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang wilayah tersebut pada Jumat, 28 Maret 2025 lalu.
Jumlah korban tewas di Myanmar melonjak tajam menjadi 1.644 jiwa, sebuah peningkatan drastis dari angka 1.002 yang diumumkan beberapa jam sebelumnya.
Hal ini menunjukkan betapa sulitnya memverifikasi jumlah korban di wilayah yang luas dan kemungkinan besar angka tersebut akan terus bertambah.
Selain korban tewas, tercatat pula 3.408 orang mengalami luka-luka akibat gempa bumi ini. Sementara itu, jumlah warga yang masih dinyatakan hilang mencapai 139 orang.
Upaya pencarian dan penyelamatan terus dilakukan di berbagai wilayah yang terdampak, namun tantangan besar menghadang para petugas di lapangan.
Di negara tetangga, Thailand, gempa bumi ini juga menyebabkan korban jiwa. Jumlah korban tewas di Thailand bertambah menjadi 10 orang.
Guncangan gempa terasa hingga wilayah Bangkok Raya, yang merupakan rumah bagi sekitar 17 juta penduduk, serta berbagai wilayah lain di negara tersebut.
Kerusakan dilaporkan terjadi di banyak tempat di wilayah utara Thailand, namun korban jiwa hanya dilaporkan di Bangkok, ibu kota negara.
Sembilan dari sepuluh korban tewas di Thailand berada di lokasi gedung bertingkat yang sedang dalam pembangunan dan ambruk di dekat Pasar Chatuchak, Bangkok.
Hingga Sabtu kemarin, masih terdapat 78 orang yang belum diketahui keberadaannya di lokasi reruntuhan tersebut.
Tim penyelamat terus berupaya mencari kemungkinan adanya korban selamat.
Pada hari Sabtu, lebih banyak alat berat didatangkan ke lokasi untuk memindahkan berton-ton puing bangunan.
Namun, harapan untuk menemukan korban selamat semakin menipis di kalangan teman dan keluarga para korban yang tertimbun.
Keluarga dan kerabat terus menunggu kabar dengan cemas dan penuh harap.
“Saya berdoa agar mereka selamat, tetapi ketika saya tiba di sini dan melihat reruntuhan di mana saja mereka berada?” ujar Naruemol Thonglek (45 tahun), sambil terisak menanti kabar tentang pasangannya yang berasal dari Myanmar, dan lima temannya yang bekerja di lokasi proyek tersebut.
Kesedihan dan keputusasaan tampak jelas di wajah para keluarga korban.
Di Myanmar, upaya penyelamatan sejauh ini difokuskan pada kota-kota besar yang paling parah terkena dampak gempa, yaitu Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu, dan Naypyitaw, ibu kota Myanmar.
Tim penyelamat dari berbagai negara telah berdatangan untuk membantu.
Meskipun tim dan peralatan telah diterbangkan dari negara-negara lain, upaya bantuan terhambat oleh kerusakan infrastruktur, termasuk bandara.
Foto satelit dari Planet Labs PBC yang dianalisis oleh The Associated Press menunjukkan bahwa gempa bumi tersebut merobohkan menara pengawas lalu lintas udara di Bandara Internasional Naypyitaw seolah-olah terlepas dari fondasinya.
Kerusakan ini tentu menghambat koordinasi dan penerimaan bantuan dari luar negeri.
Belum diketahui secara pasti apakah ada korban jiwa akibat runtuhnya menara pengawas lalu lintas udara tersebut.
Kejadian ini menambah daftar panjang dampak buruk dari gempa bumi yang melanda Myanmar.
Kerusakan infrastruktur yang meluas menjadi tantangan tersendiri dalam upaya penyaluran bantuan.
Komplikasi utama lainnya dalam upaya penanggulangan bencana ini adalah perang sipil yang sedang berkecamuk di sebagian besar wilayah Myanmar, termasuk daerah-daerah yang terdampak gempa.
Sejak tahun 2021, ketika militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, perlawanan bersenjata yang signifikan telah muncul di berbagai penjuru negara.
Konflik ini semakin mempersulit akses bantuan kemanusiaan.
Pasukan pemerintah telah kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah Myanmar.
Banyak tempat menjadi sangat berbahaya atau bahkan mustahil untuk dijangkau oleh kelompok-kelompok bantuan.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 3 juta orang telah mengungsi akibat pertempuran, dan hampir 20 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Situasi ini menciptakan tantangan logistik yang sangat besar dalam menyalurkan bantuan kepada para korban gempa.
Perpaduan antara politik dan bencana alam terlihat jelas pada Sabtu malam, ketika Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar, yang merupakan pemerintahan bayangan, mengumumkan gencatan senjata sepihak sebagian untuk memfasilitasi upaya bantuan gempa bumi.
Langkah ini diambil di tengah sulitnya akses bantuan ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh pihak oposisi.
NUG menyatakan bahwa sayap bersenjatanya, Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), akan memberlakukan jeda selama dua minggu dalam operasi militer ofensif mulai hari Minggu di daerah-daerah yang terkena dampak gempa.
Mereka juga akan berkolaborasi dengan PBB dan organisasi non-pemerintah internasional untuk “memastikan keamanan, transportasi, dan pendirian kamp-kamp penyelamatan dan medis sementara” di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Tawaran gencatan senjata ini diharapkan dapat membuka jalan bagi masuknya bantuan kemanusiaan.
Organisasi perlawanan tersebut menegaskan bahwa mereka tetap berhak untuk melawan jika diserang.
Meskipun menawarkan gencatan senjata, mereka tetap waspada terhadap potensi serangan dari pihak militer.
Situasi politik yang kompleks di Myanmar menambah kerumitan dalam upaya penanggulangan bencana ini.
Gempa bumi tersebut terjadi pada siang hari Jumat dengan pusat gempa tidak jauh dari Mandalay.
Setelah gempa utama, tercatat beberapa gempa susulan, termasuk satu gempa berkekuatan 6,4 magnitudo.
Guncangan kuat ini menyebabkan banyak bangunan di berbagai wilayah roboh, jalan-jalan retak, dan jembatan runtuh.
Kerusakan infrastruktur yang meluas ini semakin memperparah kondisi para korban dan menghambat upaya penyelamatan.
Di Naypyitaw, tim penyelamat bekerja keras pada hari Sabtu untuk memperbaiki jalan-jalan yang rusak.
Namun, layanan listrik, telepon, dan internet masih padam di sebagian besar kota. Gempa bumi ini merobohkan banyak bangunan, termasuk beberapa unit yang merupakan tempat tinggal pegawai negeri sipil.
Namun, area tersebut ditutup oleh pihak berwenang pada hari Sabtu.
Informasi mengenai jumlah korban di Naypyitaw masih terbatas akibat akses yang sulit.
Sebuah laporan awal mengenai upaya bantuan gempa bumi yang dikeluarkan pada hari Sabtu oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan bahwa mereka mengalokasikan $5 juta dari Dana Tanggap Darurat Pusat untuk “bantuan penyelamatan jiwa.”
Dana ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak para korban gempa.
Langkah-langkah awal yang direncanakan termasuk konvoi 17 truk kargo yang membawa bantuan tempat tinggal dan pasokan medis penting dari Tiongkok.
Konvoi ini diperkirakan akan tiba pada hari Minggu. Bantuan dari berbagai negara terus berdatangan untuk meringankan beban para korban.
OCHA juga mencatat adanya kerusakan parah atau kehancuran banyak fasilitas kesehatan.
Mereka memperingatkan tentang “kekurangan pasokan medis yang parah yang menghambat upaya penyelamatan, termasuk trauma kit, kantong darah, anestesi, alat bantu, obat-obatan esensial, dan tenda untuk petugas kesehatan.”
Kebutuhan medis mendesak sangat diperlukan untuk menangani ribuan korban luka-luka.
Teman dan negara tetangga Myanmar telah mengirimkan personel penyelamat dan bantuan kemanusiaan.
Tiongkok dan Rusia, yang merupakan pemasok senjata terbesar bagi militer Myanmar, termasuk di antara negara-negara pertama yang memberikan bantuan kemanusiaan.
Solidaritas internasional sangat dibutuhkan dalam situasi krisis ini.
Di negara yang pemerintahannya terkadang lambat menerima bantuan asing, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, kepala pemerintahan militer Myanmar, menyatakan bahwa Myanmar siap menerima bantuan dari luar.
Pernyataan ini memberikan harapan bahwa bantuan internasional dapat segera menjangkau para korban yang membutuhkan.
Tiongkok menyatakan telah mengirimkan lebih dari 135 personel penyelamat dan ahli beserta pasokan seperti medical kit dan generator.
Mereka juga menjanjikan bantuan darurat sekitar $13,8 juta.
Kementerian Darurat Rusia menyatakan telah menerbangkan 120 penyelamat dan pasokan, dan Kementerian Kesehatan negara itu mengatakan Moskow telah mengirimkan tim medis ke Myanmar.
Bantuan dari negara-negara sahabat sangat berarti bagi Myanmar.
Negara-negara lain seperti India, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura juga mengirimkan bantuan.
Presiden AS Donald Trump pada hari Jumat menyatakan bahwa Washington akan membantu dalam upaya respons bencana ini.
Dukungan internasional yang luas menunjukkan solidaritas global terhadap musibah yang menimpa Myanmar dan Thailand.
Rencana gencatan senjata yang diumumkan oleh Pemerintah Persatuan Nasional juga mengusulkan untuk menyediakan tenaga kesehatan profesional yang loyal terhadap gerakan perlawanan mereka untuk bekerja sama dengan organisasi kemanusiaan internasional dalam memberikan layanan penyelamatan dan medis darurat di daerah-daerah di bawah kendali militer, asalkan diberikan jaminan keamanan.
Tawaran ini merupakan upaya untuk memastikan bantuan dapat menjangkau semua korban tanpa memandang wilayah kekuasaan.
Militer Myanmar selama ini sangat membatasi upaya bantuan yang sangat dibutuhkan oleh populasi besar yang telah mengungsi akibat perang, bahkan sebelum terjadinya gempa bumi.
Para simpatisan gerakan perlawanan mendesak agar upaya bantuan juga mencakup bantuan yang diangkut secara bebas ke daerah-daerah di bawah kendali perlawanan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai senjata oleh militer.
Permintaan ini menyoroti kompleksitas situasi kemanusiaan di Myanmar.
Belum ada komentar langsung dari pihak militer terkait pengumuman gencatan senjata tersebut.
Sikap militer terhadap tawaran gencatan senjata ini akan sangat menentukan kelancaran penyaluran bantuan kemanusiaan ke seluruh wilayah yang terdampak gempa.
Masyarakat internasional menanti respons positif dari pihak militer.
Pasukan militer terus melakukan serangan bahkan setelah gempa terjadi.
Tercatat tiga serangan udara di negara bagian Kayin utara, juga disebut negara bagian Karenni, dan Shan selatan, keduanya berbatasan dengan negara bagian Mandalay, kata Dave Eubank, mantan tentara Pasukan Khusus AS yang mendirikan Free Burma Rangers, sebuah organisasi bantuan swasta.
Kekerasan yang terus berlanjut ini sangat mengkhawatirkan dan menghambat upaya bantuan.
Eubank mengatakan kepada AP bahwa di area tempat dia beroperasi, sebagian besar desa telah hancur akibat serangan militer sehingga gempa bumi hanya berdampak kecil.
Situasi ini menunjukkan betapa parahnya dampak konflik bersenjata di Myanmar, bahkan sebelum terjadinya bencana alam.
“Orang-orang berada di hutan dan saya berada di hutan ketika gempa terjadi, tetapi pepohonan hanya bergerak, hanya itu yang kami lihat, jadi kami tidak terkena dampak langsung, tetapi tentara Burma terus menyerang, bahkan setelah gempa,” katanya.
Keterangan ini menggambarkan betapa sulitnya kondisi di lapangan bagi para korban dan para pekerja kemanusiaan.
Gempa bumi jarang terjadi di Bangkok, tetapi relatif umum di Myanmar.
Negara ini terletak di Patahan Sagaing, patahan utara-selatan utama yang memisahkan lempeng India dan lempeng Sunda.
Aktivitas seismik di wilayah ini memang cukup tinggi, menjadikannya rawan terhadap gempa bumi.
Brian Baptie, seorang ahli seismologi dari British Geological Survey, mengatakan bahwa gempa tersebut menyebabkan guncangan tanah yang hebat di daerah di mana sebagian besar penduduk tinggal di bangunan yang terbuat dari kayu dan batu bata tanpa tulangan.
Kerentanan bangunan menjadi faktor utama tingginya angka kerusakan dan korban jiwa.
“Ketika Anda mengalami gempa bumi besar di daerah di mana terdapat lebih dari satu juta orang, banyak di antaranya tinggal di bangunan yang rentan, konsekuensinya seringkali bisa menjadi bencana,” katanya dalam sebuah pernyataan. (Red)