
BERITATERBERITA – Hari Raya Idul Fitri adalah momen yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Setelah sebulan penuh berpuasa dan menahan diri, tibalah hari kemenangan dan kebahagiaan.
Namun, tahukah Anda bahwa 1400 tahun yang lalu, sebuah kisah keteladanan yang luar biasa terjadi di keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, tepatnya pada hari raya Idul Fitri?
Kisah tentang Ali bin Abi Thalib ini memberikan pelajaran mendalam tentang makna sejati perayaan Idul Fitri.
Kisah penuh hikmah ini tercatat dalam kitab Sirah Ashabur Rasul karya Syekh Mahmud Al Misri dan kitab Sirrul A’lam An-Nubala karya Imam az-Zahabi rahimahullah.
Keteladanan Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa ini disaksikan langsung oleh dua sahabat karibnya, yaitu Ibnu Rofi’i dan Abul Aswad ad-Duali.
Mari kita simak kisah selengkapnya yang akan menginspirasi kita dalam memaknai Idul Fitri.
Pada suatu sore di hari terakhir bulan Ramadan, setelah melaksanakan salat Asar di masjid, Ali bin Abi Thalib terlihat sedih karena sebentar lagi bulan suci akan berakhir.
Beliau kemudian kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, beliau disambut oleh istri tercinta, Fatimah az-Zahra, dengan sapaan penuh perhatian.
Fatimah bertanya, “Kenapa engkau terlihat pucat, duhai kekasihku?
Tak ada tanda-tanda keceriaan sedikit pun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan.”
Mendengar pertanyaan istrinya, Ali hanya terdiam lesu.
Namun, tak lama kemudian, beliau meminta pertimbangan sang istri untuk menyedekahkan seluruh persediaan makanan mereka kepada fakir miskin.
Beliau berkata, “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadan bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah yang sering memberi hari-hari kita dengan perut sering terisi.”
Setelah bermufakat, sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali bin Abi Thalib berkeliling dari satu sudut kota ke sudut lainnya, hingga ke perkampungan, untuk membagikan gandum dan kurma hasil panen kebunnya kepada fakir miskin dan anak yatim piatu.
Sementara itu, istrinya, Sayyidah Fatimah az-Zahra, sambil menuntun kedua putranya, Hasan dan Husein, tampak memegang kantong plastik besar.
Mereka sekeluarga dengan kompak mendatangi kaum fakir miskin untuk memberikan santunan.
Esok harinya, saat tiba waktu salat Idul Fitri, Sayyidina Ali bin Abi Thalib naik mimbar dan berkhutbah di masjid.
Dalam khutbahnya, beliau menyampaikan tentang tanda-tanda orang yang mendapatkan takwa dari puasanya selama sebulan penuh, yaitu mereka yang peka hati nuraninya sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki dan kebahagiaan.
Beliau mengingatkan bahwa semua telah merasakan betapa beratnya lapar dan dahaga.
Begitulah Sayyidina Ali, beliau tidak pernah mengucapkan sesuatu sebelum beliau sendiri melakukannya dan memberikan teladan.
Setelah salat Id selesai dan hari masih sangat pagi, sahabat beliau, Ibnu Rofi’i dan Abul Aswad ad-Duali, datang berkunjung ke rumah keluarga Rasulullah tersebut.
Saat pintu terbuka, alangkah terkejutnya mereka.
Mereka berdua tiba-tiba mencium aroma tidak sedap dari sebuah nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah agak basi, yang sedang disantap oleh Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.
Seketika itu, Ibnu Rofi’i dan Abul Aswad ad-Duali mengucapkan istighfar.
Keduanya berpelukan sambil menangis karena merasa tak kuat melihat pemandangan di hadapan mereka.
Belum sempat mengucapkan salam kepada pemilik rumah, mereka langsung memutuskan untuk pulang.
Idul Fitri yang seharusnya penuh sukacita, pagi itu mereka rasakan dengan kesedihan.
Abul Aswad ad-Duali terus bertakbir di sepanjang jalan, dengan gejolak dalam dadanya yang sangat kuat.
Setengah berlari, ia bergegas menghadap kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Setibanya di depan Nabi, ia pun mengadu, menceritakan semua yang ia lihat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Tanpa berpikir lama, Rasulullah pun langsung menuju rumah putrinya.
Setibanya sampai di halaman rumah, tidak ada apa pun yang dikhawatirkan oleh ad-Duali.
Justru tawa bahagia mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fatimah, dan kedua anaknya.
Bahkan, yang agak sedikit aneh, Abul Aswad ad-Duali langsung menyaksikan ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang.
Mata Rasulullah pun berkaca-kaca, butiran air mata bening menghiasi wajah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Beliau begitu terharu sebab beliau sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap dan baunya masih tersisa.
“Ya Allah, Allahumma syahad, Ya Allah saksikanlah, saksikanlah,” demikian bibir Rasulullah berbisik lembut ketika itu.
Fatimah Az-Zahra Menyambut Sang Ayah dengan Kekhawatiran
Fatimah tersadar kalau di luar rumah ayahnya sedang berdiri tegak.
“Abah, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri di situ tanpa memberitahu kami? Relakah Abah menjadikan kami anak yang tak berbakti?”
Fatimah spontan langsung menghampiri dan mencium tangan Abahnya sembari mempersilakan masuk ke ruang tamu.
“Kenapa Abah menangis? Kenapa pula sahabat ad-Duali mengikuti di belakang Abah?”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pun berkata, “Semoga kelak surga tempatmu, surga untukmu, duhai anakku.”
Mereka yang ada di situ lalu menjawab dengan sama-sama mengucapkan, “Allahumma Amin.”
Kesederhanaan dan Kebahagiaan Keluarga Rasulullah di Hari Raya
Di hari Idul Fitri, di saat semua orang berkumpul berbahagia dengan hidangan beraneka ragam, keluarga Rasulullah cukup tersenyum bahagia dengan gandum dan sepotong roti yang agak basi.
Demikianlah kesaksian Abul Aswad ad-Duali dan Ibnu Rofi’i atas kesederhanaan keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat hari raya Idul Fitri.
Dikatakan bahwa itulah salah satu dampak pendidikan Ramadan bagi keluarga Nabi.
Dan aku diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap Idul Fitri.
Aku pun menyimpan kisah itu di dalam hatiku.
Namun, setelah Rasulullah wafat, aku takut dituduh sebagai orang yang menyembunyikan hadis, maka terpaksa aku ceritakan agar jadi pelajaran bagi segenap kaum muslimin untuk benar-benar bisa mengambil hikmah dari madrasah yang bernama Ramadan.
Dua Hikmah Agung dari Kisah Keluarga Rasulullah SAW
Ada dua hal yang menjadikan kisah ini penuh dengan hikmah.
Yang pertama, yaitu di mana posisi seorang hamba yang sedang membutuhkan makanan, namun ia mengerti akan keadaan saudaranya yang lebih membutuhkan darinya.
Lalu yang kedua, yaitu sikap hormat kepada tamu.
Meskipun sudah menyedekahkan seluruh makanan yang dimiliki, mereka masih menyisihkan beberapa kurma untuk disuguhkan kepada tamu yang hadir di kediamannya.
Semoga kisah ini bermanfaat dan bisa menjadi pelajaran untuk kita semua dalam memaknai Idul Fitri tahun ini. (Iwan H)