
Banyak pula yang mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) atau membeli mobil karena biaya pinjaman yang rendah.
Kondisi ini sangat berbeda dengan situasi saat ini. Suku bunga di AS melonjak drastis dari 0% hingga 5,5%, menjadi yang tertinggi dalam 22 tahun terakhir.
Indonesia pun turut menaikkan suku bunga hingga mencapai 6,25%, hampir dua kali lipat dibandingkan saat pandemi.
Kenaikan suku bunga ini menjadi mimpi buruk bagi mereka yang memiliki cicilan KPR dengan bunga mengambang, kredit mobil, atau pinjaman lainnya.
Cicilan bulanan bisa melonjak hingga dua atau tiga kali lipat, seperti yang saat ini sudah mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Akibat suku bunga yang masih tinggi, masyarakat menjadi enggan untuk berinvestasi pada aset berisiko tinggi seperti kripto dan saham.
Sebagian besar lebih memilih untuk menyimpan uang di deposito karena imbal hasilnya menjadi lebih menarik.
Prediksi menunjukkan bahwa suku bunga kemungkinan tidak akan turun drastis hingga tahun 2025.
Kondisi ini membuat tahun 2024 dan 2025 berpotensi menjadi tahun yang sangat menantang bagi semua kalangan, termasuk para pebisnis.
Jika terjadi “hard landing” atau penurunan ekonomi yang tajam, PHK massal bisa terjadi di mana-mana, banyak bisnis gulung tikar, dan mencari pekerjaan akan semakin sulit.
Tanda-tanda ini sudah mulai terlihat di beberapa daerah dengan adanya penutupan pabrik.
Menariknya, tanpa resesi sekalipun, masyarakat yang saat ini merasa kesulitan ekonomi akan semakin sulit untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kerja keras saja tidak cukup. Ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, termasuk perlunya kerja cerdas dan pengelolaan keuangan yang baik.
Lantas, apa yang harus dilakukan?