
BERITATERBERITA – Sebuah prediksi mengejutkan sempat dilontarkan di akhir tahun 2023, yang menyatakan bahwa tahun 2024 berpotensi mengalami resesi.
Meskipun awalnya tidak terlalu viral, kini tanda-tandanya mulai terasa nyata.
Berita mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin sering terdengar, suku bunga tak kunjung turun, dan inflasi terus menggerogoti pendapatan masyarakat.
Menyikapi kondisi ini, kanal YouTube “kelas kehidupan by 1%” kembali hadir dengan analisis mendalam mengenai mengapa periode 2024 dan 2025 diprediksi akan menjadi masa yang penuh tantangan bagi banyak orang, terutama kelas pekerja, kelas menengah, dan kelas menengah ke bawah.
Dalam video terbarunya, “kelas kehidupan by 1%” mengajak para penonton untuk memahami lebih jauh mengenai situasi ekonomi global dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Disclaimer awal disampaikan bahwa resesi 100% belum tentu terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa pemerintah di berbagai belahan dunia tengah sengaja membuat kondisi ekonomi menjadi lebih sulit.
Alasan di balik kebijakan ini bukanlah teori konspirasi semata, melainkan upaya untuk mengendalikan nilai tukar mata uang dan mencegah lonjakan harga kebutuhan pokok seperti beras.
Hampir semua pemerintah saat ini masih mempertahankan atau bahkan meningkatkan suku bunga.
Suku bunga yang tinggi secara sengaja “mengerem” laju pertumbuhan ekonomi. Bagi yang belum memahami, suku bunga memiliki pengaruh besar terhadap arah pergerakan uang dalam suatu negara.
Setelah memahami dinamika suku bunga, masyarakat sebenarnya dapat mengambil keputusan investasi yang lebih cerdas.
Namun, sayangnya, banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki akses informasi mengenai hal ini.
Mereka seringkali hanya terkejut ketika melihat perubahan drastis di pasar saham atau kripto. Padahal, pemahaman dasar tentang suku bunga sangat penting.
Ketika suku bunga rendah, bahkan mendekati 0% seperti saat pandemi Covid-19 di AS dan sekitar 3% di Indonesia, masyarakat cenderung lebih boros dan berani mengambil risiko investasi.
Inilah yang menjadi alasan mengapa pada periode 2020-2022 terjadi booming investasi di startup, kripto, dan pasar saham.
Banyak pula yang mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) atau membeli mobil karena biaya pinjaman yang rendah.
Kondisi ini sangat berbeda dengan situasi saat ini. Suku bunga di AS melonjak drastis dari 0% hingga 5,5%, menjadi yang tertinggi dalam 22 tahun terakhir.
Indonesia pun turut menaikkan suku bunga hingga mencapai 6,25%, hampir dua kali lipat dibandingkan saat pandemi.
Kenaikan suku bunga ini menjadi mimpi buruk bagi mereka yang memiliki cicilan KPR dengan bunga mengambang, kredit mobil, atau pinjaman lainnya.
Cicilan bulanan bisa melonjak hingga dua atau tiga kali lipat, seperti yang saat ini sudah mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Akibat suku bunga yang masih tinggi, masyarakat menjadi enggan untuk berinvestasi pada aset berisiko tinggi seperti kripto dan saham.
Sebagian besar lebih memilih untuk menyimpan uang di deposito karena imbal hasilnya menjadi lebih menarik.
Prediksi menunjukkan bahwa suku bunga kemungkinan tidak akan turun drastis hingga tahun 2025.
Kondisi ini membuat tahun 2024 dan 2025 berpotensi menjadi tahun yang sangat menantang bagi semua kalangan, termasuk para pebisnis.
Jika terjadi “hard landing” atau penurunan ekonomi yang tajam, PHK massal bisa terjadi di mana-mana, banyak bisnis gulung tikar, dan mencari pekerjaan akan semakin sulit.
Tanda-tanda ini sudah mulai terlihat di beberapa daerah dengan adanya penutupan pabrik.
Menariknya, tanpa resesi sekalipun, masyarakat yang saat ini merasa kesulitan ekonomi akan semakin sulit untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kerja keras saja tidak cukup. Ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, termasuk perlunya kerja cerdas dan pengelolaan keuangan yang baik.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
“kelas kehidupan by 1%” memberikan beberapa saran penting.
Salah satu poin yang ditekankan adalah pentingnya memperbanyak dan memperkuat relasi.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, memiliki jaringan pertemanan dan kolega yang luas dapat menjadi penyelamat ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kehilangan pekerjaan.
Selain itu, “kelas kehidupan by 1%” juga menyoroti konsep “economy of scale” yang seringkali dimanfaatkan oleh orang kaya. Membeli barang dalam jumlah besar dapat menekan biaya per unit.
Masyarakat kelas menengah ke bawah juga bisa menerapkan prinsip ini dengan membeli kebutuhan pokok dalam jumlah yang lebih banyak saat harga masih relatif stabil.
Video ini juga menyarankan untuk menjual aset yang kurang produktif atau jarang digunakan saat ini, mumpung kondisi ekonomi belum terlalu buruk.
Uang hasil penjualan aset tersebut bisa dijadikan dana likuid untuk menghadapi masa sulit atau untuk memanfaatkan peluang investasi yang mungkin muncul saat resesi.
Lebih lanjut, “kelas kehidupan by 1%” mengingatkan untuk menghindari pembelian barang-barang yang belum benar-benar dibutuhkan.
Prioritaskan produk lokal dan tunda pembelian barang-barang konsumtif yang tidak esensial.
Bagi mereka yang memiliki aset lebih, saatnya untuk bersiap membeli aset dengan harga diskon jika resesi benar-benar terjadi.
Namun, investasi terbaik yang tidak bisa dicuri, hilang, dan berlaku untuk semua kelas sosial adalah investasi pada pendidikan.
Di era digital ini, akses ke berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan semakin mudah dan terjangkau.
“kelas kehidupan by 1%” merekomendasikan untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan diri.
Di akhir videonya “kelas kehidupan by 1%” juga mempromosikan program gratis mereka bersama Blue Academy yang fokus pada edukasi finansial.
Program ini diharapkan dapat membantu masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan dan menghadapi potensi tantangan ekonomi di masa depan. (Red)