
BERITATERBERITA – Jepang, sebuah negara yang ekonominya mengalami stagnasi selama lebih dari 30 tahun dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan fenomena yang menarik.
Meskipun pertumbuhan ekonominya nyaris tidak ada, bahkan sempat mengalami resesi tahun ini, masyarakat Jepang dikenal sebagai salah satu yang paling bahagia di dunia dengan harapan hidup terpanjang.
Gaji rata-rata di Jepang pun dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pakaian, makanan, dan tempat tinggal tanpa harus terjerat utang.
Fenomena serupa juga terlihat di Australia, di mana pekerjaan dengan standar hidup rendah sangat jarang ditemui.
Bahkan seorang pekerja konstruksi atau asisten rumah tangga pun dapat hidup nyaman di Australia.
Kondisi ini sangat kontras dengan negara-negara seperti China dan Amerika Serikat (AS). Lantas, apa yang menjadi penyebab perbedaan ini?
Sebuah video dari kanal YouTube “kelas kehidupan by 1%” mencoba mengupas tuntas fenomena ini.
Salah satu indikator yang dibahas dalam video tersebut adalah Gini Coefficient, yaitu ukuran statistik yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan di suatu negara.
Nilai 0 pada Gini Coefficient berarti kesetaraan sempurna, di mana semua orang memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama.
Sementara nilai 1 menunjukkan ketimpangan yang sangat parah.
Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai Gini Coefficient yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, China, maupun AS.
Artinya, tingkat kesenjangan pendapatan di Indonesia masih dalam kategori “lumayan biasa” jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut, terutama China dan AS yang dianggap memiliki kesenjangan yang sangat tinggi.
Namun, ironisnya, banyak masyarakat Indonesia yang merasakan adanya kesenjangan sosial yang cukup signifikan.
Contohnya, perbedaan pendapatan antara pekerja biasa dengan para pengusaha sukses atau konten kreator ternama terlihat sangat mencolok.
Banyak yang bertanya-tanya dari mana sumber kekayaan mereka berasal.
Video “kelas kehidupan by 1%” menjelaskan bahwa di banyak negara, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali berjalan beriringan dengan peningkatan kesenjangan sosial.
Semakin maju suatu negara secara ekonomi, semakin besar pula jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, seperti yang terjadi di AS dan China.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak selalu dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Lantas, apakah masih pantas untuk terus mengejar ambisi dan kekayaan tanpa batas?
Atau haruskah kita menyerah dan memilih untuk hidup sederhana?
Pertanyaan inilah yang menjadi inti pembahasan dalam video “kelas kehidupan by 1%.”
Jepang dan Australia, sebagai negara maju dengan tingkat kesenjangan yang relatif rendah, memberikan contoh menarik.
Kedua negara ini berhasil menciptakan kondisi di mana kemajuan ekonomi dapat dirasakan oleh hampir semua warganya.
Pelayanan publik yang baik dan infrastruktur yang memadai dapat dinikmati oleh mayoritas masyarakat.
“kelas kehidupan by 1%” mengajak masyarakat Indonesia untuk belajar dari Jepang dan Australia.
Kedua negara ini menunjukkan bahwa hidup tidak harus selalu tentang ambisi berlebihan dan mengejar kekayaan materi semata.
Faktanya, bekerja biasa-biasa saja atau bahkan menjadi pekerja kasar di kedua negara tersebut sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Video ini menekankan bahwa individu tidak perlu terlalu ambisius dan terobsesi dengan uang.
Banyak masyarakat di negara-negara tertentu telah membuktikan bahwa hidup sederhana dan berkecukupan dapat membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.
Hal ini menjadi kontradiksi dengan budaya di Indonesia yang seringkali mendewakan uang dan pencapaian materi.
“kelas kehidupan by 1%” kemudian membahas fenomena “bailan” yang terjadi di China.
“Bailan” secara harfiah berarti “biarkan membusuk,” yang menggambarkan sikap menyerah dan pasrah terhadap kerasnya kehidupan yang dirasakan oleh sebagian generasi muda di China.
Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap tekanan hidup yang tinggi dan kurangnya harapan akan masa depan yang lebih baik.
Meskipun “bailan” mungkin bisa dipahami dalam konteks masyarakat ateis seperti di China, “kelas kehidupan by 1%” mengingatkan bahwa di Indonesia, agama seringkali menjadi pelarian dan sumber kekuatan spiritual.
Namun, menyerah dan tidak memiliki ambisi bukanlah solusi yang tepat.
Sebaliknya, video ini mengajak untuk belajar dari Jepang yang ekonominya stagnan namun masyarakatnya tetap bahagia dan panjang umur.
Rahasia orang Jepang terletak pada beberapa hal, di antaranya adalah bekerja dengan benar namun tetap mengetahui batasan diri.
Mereka menghargai proses dan tidak memaksakan diri untuk menjadi orang lain.
Selain itu, masyarakat Jepang juga memiliki hobi atau tempat “kabur” dari rutinitas dan tekanan hidup. Hobi ini bisa beragam, mulai dari yang sehat hingga yang kurang sehat.
“kelas kehidupan by 1%” menyarankan untuk memiliki hobi yang sehat sebagai cara untuk menjaga kesehatan mental dan menghindari stres.
Terakhir, “kelas kehidupan by 1%” mendorong untuk melakukan eksplorasi atau “kabur” sejenak dari rutinitas sehari-hari dengan bepergian ke tempat baru.
Traveling dapat membantu menyegarkan pikiran, menghilangkan penat, dan memberikan perspektif baru tentang kehidupan.
Traveling tidak harus mahal dan mewah, yang terpenting adalah mendapatkan pengalaman dan pelajaran berharga.
Sebagai penutup, video ini memberikan beberapa pertanyaan reflektif untuk para penonton, yaitu: hidup seperti apa yang sebenarnya Anda inginkan?
Dan kota seperti apa yang ideal untuk Anda tinggali?
Semoga saja jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas dapat membantu Anda untuk lebih memahami diri sendiri dan menentukan arah hidup yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan kebahagiaan pribadi. (Red)