Siapa Dalang Sebenarnya?, Bongkar Identitas dan Motif Penembak Bung Karno Saat Salat Ied! (PART 2)

Terungkap bahwa upaya pembunuhan terhadap Soekarno ternyata pernah direncanakan sebelumnya (Foto: Youtube/Sejarah Seru)

BERITATERBERITA – Pasca insiden penembakan yang menggemparkan saat salat Idul Adha di Istana Merdeka, situasi sempat tegang.

Korban luka, termasuk Sudrajat, Susilo, dan Zainul Arifin, segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

Setelah keadaan berhasil dikendalikan oleh aparat keamanan, ibadah salat Ied kembali dilanjutkan. Kyai Haji Idham Chalid kembali memimpin jalannya salat.

Usai salat, Jenderal A.H. Nasution menyampaikan khotbah di mimbar.

Rencananya, setelah khotbah selesai, Presiden Soekarno akan menyampaikan sambutannya kepada para jemaah.

Namun, rencana tersebut dibatalkan mengingat peristiwa penembakan yang baru saja terjadi.

Para jemaah kemudian dibubarkan dan diperiksa satu per satu.

Mereka yang tidak dapat menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) terpaksa menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

Namun, pada akhirnya, seluruh jemaah diperbolehkan meninggalkan istana, kecuali seorang penyerang yang telah diamankan.

Setelah area istana steril dari jemaah, anggota kepolisian melakukan penyisiran menyeluruh.

Hasilnya, mereka menemukan sarung pistol dan sepucuk pistol jenis FN 45 di bawah tikar alas salat.

Senjata inilah yang digunakan oleh pelaku dalam upaya pembunuhan tersebut.

Menurut penuturan Malwi Saelan, mantan Wakil Komandan Cakrabirawa, terdapat hal mistis yang menyelimuti lolosnya Soekarno dari maut.

Saat pelaku penembakan diperiksa, ia mengaku melihat Bung Karno yang menjadi sasarannya tiba-tiba menjadi dua orang.

Hal ini membuat penembak kebingungan, tidak tahu mana satu di antara dua sosok Soekarno yang harus ditembak.

Akibatnya, tembakannya meleset dan mengenai bahu Ketua DPR Zainul Arifin.

Beberapa hari kemudian, pemerintah melalui Radio Republik Indonesia (RRI) memberikan keterangan resmi mengenai upaya pembunuhan terhadap presiden.

Keterangan tersebut memberitakan bahwa Presiden Soekarno dalam keadaan selamat.

Terdapat lima orang korban luka-luka, tiga di antaranya mengalami luka serius.

Sedangkan pelaku penembakan sudah berhasil ditangkap dan akan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hasil pengusutan mendalam terhadap pelaku penembakan Bung Karno saat Idul Adha pada 14 Mei 1962, seperti yang diungkapkan kanal YouTube ‘Sejarah Seru’, memunculkan fakta baru yang mengejutkan.

Ternyata, para pelaku penembakan tersebut adalah anggota Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Kartosuwiryo.

Komisaris Mangil Martowijoyo, Komandan Pengawal Presiden saat itu, menyatakan bahwa terdapat tiga orang oknum penembak dalam kejadian tersebut.

Mereka berhasil masuk ke dalam area Istana Jakarta dengan menggunakan kartu undangan masuk yang diperoleh dari salah satu organisasi masyarakat (ormas).

Ketiga pelaku tersebut diidentifikasi sebagai Sanusi alias Fatah alias Kunci Sanusi Fikrat alias Sanusi Ufit, kemudian Kamil alias Harun bin Karta, serta Jaya Permana Embun alias Hidayat bin Mustafa.

Dari hasil pemeriksaan terhadap Sanusi, terungkap bahwa upaya pembunuhan terhadap Soekarno ternyata pernah direncanakan sebelumnya, yaitu saat Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 9 Maret 1962.

Pada waktu itu, Sanusi bertemu dengan seorang kenalan lamanya bernama Kadri.

Kadri kemudian mengajak Sanusi ke rumah Haji Mahfud di daerah Matraman Belakang, Jakarta.

Di sana, Sanusi melihat sembilan anggota DI/TII yang telah mendapatkan perintah untuk membunuh Soekarno pada Hari Raya Idul Fitri.

Kesembilan orang tersebut adalah Dahlia, Harun, Abuddin, Kadri, Hidayat, Kholil, Hamdan, Anwar, dan Idin.

Abuddin kemudian memperlihatkan senjata yang akan digunakan, berupa dua pucuk senapan cargo stov 5, pistol, dan satu buah granat.

“Ini adalah senjata kalian untuk habisi Soekarno. Soekarno harus mati! Ini perintah dari Imam Besar Kartosuwiryo,” ujar Abuddin kepada rekan-rekan komplotannya.

Dua hari setelah pertemuan tersebut, mereka pergi menemui Jaya Permana yang memberikan tempat menginap kepada beberapa anggota DI/TII.

Di pondokan tersebut, Sanusi mendengar percekcokan antara Hidayat, Idin, dan Dahlia yang dituduh menghianati Jaya, Anwar, dan Kholil sehingga akhirnya mereka tertangkap oleh pasukan pemerintah.

Penangkapan inilah yang menyebabkan rencana pembunuhan Bung Karno di Hari Raya Idul Fitri menjadi gagal.

Abuddin kemudian melaporkan kegagalan rencana pembunuhan tersebut kepada Marjuk bin Ahmad alias M.D. Nugraha alias Jiwa Praja, seorang pemimpin DI/TII yang berdomisili di Gunung Galunggung, Jawa Barat.

Hingga akhirnya terungkap fakta bahwa ternyata pengkhianat yang sebenarnya adalah Kadri, bukan Idin. Sanusi kemudian mengeksekusi Kadri di rumahnya pada tanggal 25 Maret dini hari.

Setelah itu, Sanusi dan Abuddin pergi ke Gunung Galunggung untuk menemui pimpinan mereka.

Di tempat itulah, Sanusi dan Abuddin mendapatkan perintah langsung dari Marjuk untuk memimpin upaya pembunuhan terhadap Soekarno pada saat pelaksanaan salat Idul Adha.

Mereka juga menerima empat lembar dokumen berisi pengumuman kemenangan Negara Karunia Allah (Negara Islam Indonesia) yang harus diberikan kepada seorang jenderal.

Komisaris Mangil tidak menyebutkan nama jenderal yang dimaksud.

Kunci untuk masuk ke dalam istana berupa surat undangan yang Sanusi peroleh dari Haji Bahrun yang tinggal di Bogor.

Sanusi kemudian mematangkan rencana pembunuhan tersebut bersama komplotannya.

“Aku, Harun, dan Hidayat yang akan mengeksekusi Soekarno. Sementara kalian, Hamdan dan Abidin, aku tugaskan untuk mendengarkan berita dari radio. Begitu Soekarno tewas…”

Pada pagi hari Idul Adha, sekitar pukul 05.30, mereka berangkat menuju Harmoni, dekat dengan Istana Merdeka.

Di sana, mereka berbagi tugas. Sanusi bertugas menembak pertama sebagai tanda bagi Harun untuk melepaskan tembakan ke arah Soekarno, dan Hidayat bertugas melemparkan granat ke arah kerumunan jemaah yang panik.

Harun berhasil masuk ke dalam istana dan mengikuti jalannya salat. Namun, di tengah ibadah, Harun tiba-tiba disergap perasaan takut dan keraguan.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Astaghfirullah… Apakah yang aku lakukan ini benar? Penembakan ini pasti menimbulkan korban jiwa tak berdosa,” gumam Harun dalam hati.

Harun kemudian membatalkan niat jahatnya dan menyembunyikan pistol FN di bawah tikar alas salat.

Setelah selesai salat, Harun berhasil keluar dari istana dan lolos dari penggeledahan petugas. Ia kemudian melarikan diri ke arah Kampung Pulo dan bertemu dengan Hidayat.

“Gimana, Run? Soekarno sudah kamu bikin mati?” tanya Hidayat.

“Gagal. Lihat, pistolku macet,” jawab Harun.

Hidayat pun mengikuti jejak Harun. Ia membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam istana dan membuang granat yang dibawanya ke Sungai Cisadane.

Di tempat lain, Hamdan dan Abidin mendengar berita tentang kegagalan upaya pembunuhan Bung Karno melalui radio.

Mereka kemudian melarikan diri ke daerah Cianjur.

Seluruh pelaku percobaan pembunuhan pada Idul Fitri dan Idul Adha yang berjumlah sembilan orang akhirnya berhasil ditangkap.

Mahkamah Angkatan Darat kemudian menjatuhkan vonis mati kepada Sanusi dan Harun pada tanggal 16 Juli 1962.

Hidayat, Hamdan, dan Abuddin juga divonis mati pada tanggal 7 Agustus 1962. Sedangkan Marjuk divonis mati pada tanggal 2 Oktober 1962.

Untuk tiga orang lainnya, yaitu Dahlia, Anwar, dan Kholil, dihukum penjara seumur hidup pada tanggal 11 September 1962.

Kartosuwiryo sendiri berhasil ditangkap pada tanggal 5 Juni 1962.

Ia dinyatakan bersalah karena berupaya melakukan makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia, memberontak kepada pemerintahan yang sah, dan berupaya membunuh kepala negara sebanyak dua kali berturut-turut, yaitu pada Idul Fitri dan Idul Adha.

Atas kejahatannya tersebut, Mahkamah Angkatan Darat menjatuhkan hukuman mati kepada Kartosuwiryo pada tanggal 16 Agustus 1962.

Menurut Malwi Saelan, Haji Bahrun, orang yang memberikan undangan masuk istana kepada Sanusi, juga ditangkap atas tuduhan mengatur rencana dan memerintahkan pembunuhan.

Menurut Ario Helmi, penulis biografi Zainul Arifin, setelah kejadian upaya pembunuhan terhadap Soekarno di Hari Raya Idul Adha, presiden tidak pernah lagi melaksanakan salat di tempat terbuka.

Sementara itu, untuk keperluan pengamanan presiden, akhirnya dibentuklah satuan tugas khusus pengamanan pada tanggal 6 Juni 1963, bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno.

Pasukan khusus pengamanan presiden ini diberi nama Resimen Cakrabirawa. (Red)

Sumber: Youtube-Chanel ‘Sejarah Seru’

Rekomendasi