Greenland Jadi Rebutan Amerika Serikat, Apa Kaitannya dengan Rusia dan China?

Wakil Presiden JD Vance dan istrinya, Usha Vance, melakukan tur ke Pangkalan Antariksa Pituffik milik militer AS di Greenland, 28 Maret 2025 (Foto: Youtube/WION)

BERITATERBERITA – Benarkah Amerika Serikat sedang mempertimbangkan langkah besar untuk mengakuisisi Greenland? Kabar yang beredar kencang menyebutkan Gedung Putih tengah mengkaji secara mendalam biaya yang dibutuhkan untuk menjadikan pulau Arktik itu sebagai wilayahnya.

Tak hanya itu, potensi pendapatan dari sumber daya alam Greenland yang melimpah juga menjadi perhitungan matang. Ketertarikan Amerika Serikat pada Greenland ini semakin menguatkan dugaan bahwa Presiden saat itu, Donald Trump, memang memiliki minat yang serius terhadap pulau es tersebut.

Bukan sekadar isapan jempol belaka, rupanya ada kalkulasi bisnis di balik ketertarikan Negeri Paman Sam. Denmark, yang saat ini menguasai Greenland, diketahui menggelontorkan dana sekitar 600 juta dollar Amerika Serikat per tahun untuk pulau tersebut.

Seorang pejabat anonim bahkan membocorkan kepada media bahwa Amerika Serikat siap mengeluarkan dana “jauh lebih tinggi” dari angka itu demi menarik Greenland ke dalam orbit kekuasaannya. Meskipun rincian angka pasti belum diungkapkan, spekulasi mengenai besarnya biaya yang akan dikeluarkan Amerika Serikat terus menjadi perbincangan hangat.

Namun, muncul pertanyaan besar: mengapa pendekatan Amerika Serikat terkesan begitu agresif? Bukankah seorang presiden Amerika Serikat bisa saja menjalin pertemuan bilateral dengan Denmark untuk membahas peluang memperluas kehadiran Amerika di wilayah Arktik secara lebih diplomatis?

Dengan memaksakan kepentingan teritorialnya pada Greenland, Donald Trump kala itu dinilai berisiko mengasingkan sekutu-sekutu terdekat Amerika. Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, bahkan secara tegas menyatakan bahwa “Amerika Serikat tidak akan mengambil alih Greenland. Greenland adalah milik rakyat Greenland.”

Lantas, apa hubungannya dengan Rusia dan China? Alasan lain yang mencuat adalah klaim bahwa akuisisi Greenland akan melindungi pulau tersebut dari potensi infiltrasi Rusia dan China.

Namun, pernyataan berbeda justru datang dari utusan khusus saat itu, Steve Witkoff, yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat dan Rusia sedang mempertimbangkan cara untuk mengintegrasikan kebijakan energi Arktik mereka dan berbagi jalur laut untuk mengirim gas ke Eropa bersama-sama. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan Amerika atas Greenland justru dapat mempererat kerja sama dengan Rusia.

Apakah ada seni dalam kesepakatan ini? Kombinasi antara insentif finansial yang menggiurkan dan ideologi politik yang kuat kemungkinan besar menjadi pendorong utama ketertarikan Donald Trump pada Greenland.

Trump diketahui menjadikan Andrew Jackson sebagai salah satu inspirasinya dan bahkan sempat menyinggung soal “takdir manifestasi” dalam pidato pelantikannya. Jadi, ketertarikannya pada wilayah baru seperti Greenland mungkin sudah bisa diprediksi.

Namun, seorang analis politik ternama, Ian Bremmer, memberikan pandangan menarik: mungkin saja Trump dan timnya “tidak punya alasan yang jelas” untuk rencana pengambilalihan ini, dan semua ini “pada akhirnya akan mereda dengan sendirinya.”

Fokus utama Amerika Serikat terhadap Greenland tampaknya berkisar pada dua aspek krusial: potensi ekonomi yang besar dan kepentingan strategis di kawasan Arktik. Greenland menyimpan kekayaan sumber daya alam yang sangat signifikan, termasuk mineral berharga, minyak, dan gas alam.

Penguasaan atas sumber daya ini tentu akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi Amerika Serikat. Selain itu, posisi geografis Greenland yang strategis di Arktik menjadikannya wilayah yang penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Amerika Serikat, terutama dalam menghadapi potensi persaingan dari negara-negara lain seperti Rusia dan China.

Kajian mendalam yang dilakukan oleh Gedung Putih tidak hanya berfokus pada biaya akuisisi dan pemeliharaan Greenland. Lebih dari itu, mereka juga meneliti secara seksama potensi pendapatan yang bisa dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam di pulau tersebut.

Perhitungan ini tentu melibatkan analisis pasar global untuk mineral, minyak, dan gas, serta perkiraan biaya eksploitasi dan infrastruktur yang dibutuhkan. Hasil kajian ini akan menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah Amerika Serikat dalam mengambil keputusan terkait masa depan Greenland.

Seperti dilansir dari gzeromedia, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan saat itu, menunjukkan ketertarikan yang nyata untuk mengakuisisi Greenland.

Motivasi di balik ketertarikan ini sangat kompleks, melibatkan pertimbangan ekonomi, strategis, dan bahkan ideologis. Potensi sumber daya alam Greenland yang melimpah menjadi daya tarik utama, menjanjikan keuntungan finansial yang besar bagi Amerika Serikat jika berhasil dikuasai.

Selain itu, posisi geografis Greenland yang strategis di kawasan Arktik juga menjadi faktor penting dalam perhitungan geopolitik Amerika Serikat, terutama dalam konteks persaingan dengan Rusia dan China.

Biaya yang harus dikeluarkan Amerika Serikat untuk mempertahankan Greenland sebagai wilayahnya diperkirakan akan sangat besar. Selain dana tahunan yang saat ini diberikan Denmark, Amerika Serikat juga perlu menginvestasikan sejumlah besar uang untuk infrastruktur, layanan publik, dan pertahanan di pulau tersebut.

Namun, pemerintah Amerika Serikat tampaknya melihat potensi pendapatan dari sumber daya alam Greenland sebagai kompensasi yang sepadan, bahkan mungkin melebihi biaya yang dikeluarkan.

Potensi pendapatan dari sumber daya alam Greenland memang sangat menjanjikan. Pulau ini diyakini memiliki cadangan mineral berharga seperti seng, timah, besi, dan uranium. Selain itu, terdapat juga potensi besar untuk minyak dan gas alam di lepas pantai Greenland.

Eksploitasi sumber daya ini dapat menghasilkan pendapatan miliaran dollar Amerika Serikat setiap tahunnya, yang tentu akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Amerika Serikat. Jika dikonversikan dengan kurs saat ini (sekitar 16.000 Rupiah per 1 dollar Amerika Serikat), potensi pendapatan ini bisa mencapai triliunan Rupiah.

Namun, rencana Amerika Serikat untuk mengakuisisi Greenland tidak berjalan mulus. Pemerintah Denmark dan rakyat Greenland sendiri secara tegas menolak gagasan tersebut.

Mereka bersikeras bahwa Greenland adalah wilayah otonom Denmark dan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Penolakan ini menjadi tantangan besar bagi Amerika Serikat, yang mungkin perlu mencari cara lain untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Arktik tanpa harus mengambil alih kedaulatan Greenland.

Meskipun demikian, ketertarikan Amerika Serikat pada Greenland menunjukkan betapa pentingnya kawasan Arktik dalam peta geopolitik global saat ini.

Dengan mencairnya es di Kutub Utara akibat perubahan iklim, jalur pelayaran baru terbuka, dan potensi sumber daya alam di kawasan ini semakin mudah diakses. Hal ini memicu persaingan antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China untuk memperebutkan pengaruh dan sumber daya di Arktik.

Keterlibatan Rusia dan China di Arktik menjadi salah satu alasan yang dikemukakan oleh Amerika Serikat untuk membenarkan kepentingannya di Greenland.

Amerika Serikat khawatir bahwa Rusia dan China akan semakin memperluas pengaruh mereka di kawasan ini, yang dapat mengancam kepentingan keamanan dan ekonomi Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat berupaya untuk memperkuat posisinya di Arktik, salah satunya dengan mempertimbangkan akuisisi Greenland. (Red)

Sumber: gzeromedia

Rekomendasi