Terungkap! Rahasia Kejeniusan Einstein Bukan Soal Persentase Otak, Lalu Apa?

Foto: Youtube/Trending Sepuluh

BERITATERBERITA – Pernahkah Anda mendengar anggapan bahwa manusia hanya menggunakan sekitar 10% dari kemampuan otaknya?

Anggapan ini begitu populer hingga diangkat dalam berbagai film, salah satunya adalah film “Lucy”.

Film tersebut menggambarkan seorang wanita yang tanpa sengaja terpapar obat terlarang bernama CPH4, yang secara bertahap meningkatkan kapasitas otaknya hingga 100%.

Dalam film, Lucy yang awalnya lemah berubah menjadi sosok yang sangat cerdas dan memiliki kemampuan luar biasa, mulai dari membaca pikiran, telepati, hingga memanipulasi ruang dan waktu.

Namun, benarkah anggapan bahwa kita hanya mengakses 10% kemampuan otak kita? Bahkan, konon katanya Albert Einstein, seorang ilmuwan jenius, mampu mengakses lebih dari 20% kemampuan otaknya. Mari kita telaah lebih lanjut.

Kisah menarik tentang otak Einstein dimulai setelah kematiannya pada hari Senin, 18 April tahun 1955. Einstein meninggal di usia 76 tahun akibat pembengkakan pembuluh aorta.

Sebelum meninggal, ia berpesan agar jasadnya dikremasi dan abunya disebar secara rahasia agar tidak ada pengkultusan terhadap dirinya.

Namun, saat proses otopsi yang dilakukan oleh seorang dokter patologi bernama Thomas Harvey, sebuah kejadian menarik terjadi.

Dr. Harvey sangat penasaran dengan otak Einstein dan menduga bahwa kejeniusannya mungkin berkaitan dengan anatomi otaknya. Tanpa izin keluarga, Dr. Harvey diam-diam menyimpan otak Einstein untuk diteliti.

Selama 23 tahun, Dr. Harvey menyimpan otak Einstein dalam dua stoples besar berisi zat pengawet.

Baru pada tahun 1978, seorang jurnalis bernama Steven Levy berhasil menemukan keberadaan otak tersebut setelah membaca biografi Einstein yang menyebutkan keinginan sang ilmuwan agar otaknya diawetkan untuk dipelajari.

Penemuan otak Einstein yang sudah dipotong-potong menjadi 240 bagian dan disimpan bersama lusinan fotonya menjadi berita viral.

Akhirnya, Dr. Harvey menyerahkan otak Einstein kepada museum untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.

Penelitian pertama dilakukan oleh Sandra Witelson, seorang pakar otak dari Kanada.

Dari foto-foto otak Einstein, terungkap bahwa ukuran otaknya relatif lebih kecil dibandingkan otak manusia pada umumnya. Namun, ada hal menarik pada bagian belakang otak Einstein yang disebut lobus parietal.

Bagian ini ternyata 15% lebih lebar dari otak normal dan berhubungan dengan kemampuan visual dan spasial.

Witelson berpendapat bahwa inilah yang memungkinkan Einstein memiliki kemampuan visual yang kuat saat memecahkan masalah fisika dan matematika.

Penelitian lain menunjukkan bahwa pada otak normal terdapat garis pemisah bernama Sylvian fissure yang memisahkan otak bagian atas dan bawah.

Anehnya, pada otak Einstein, garis pemisah ini terputus, sehingga area otak yang berhubungan dengan visual menjadi lebih lebar.

Hal ini diduga menjadi alasan mengapa Einstein sangat imajinatif dan mampu menghasilkan hampir semua teorinya melalui eksperimen pikiran (thought experiment).

Penelitian kedua datang dari Dr. Marian Diamond, seorang pakar otak dari Amerika. Ia menemukan bahwa jumlah sel glial pada otak Einstein ternyata lebih banyak dibandingkan otak normal.

Sel glial berfungsi memberikan nutrisi dan perlindungan pada sel saraf, sehingga berperan penting dalam memaksimalkan kinerja saraf.

Dr. Diamond menyimpulkan bahwa hal inilah yang membuat Einstein lebih unggul dalam menyerap dan mengolah informasi.

Selain itu, penelitian juga mengungkapkan bahwa corpus callosum Einstein, bagian otak yang menghubungkan otak kiri dan kanan, ternyata lebih tebal.

Hal ini memungkinkan komunikasi yang lebih cepat antara kedua belah otak Einstein, yang mungkin menjadi alasan mengapa ia tidak hanya pandai dalam sains tetapi juga memiliki ketertarikan pada seni, seperti bermain biola.

Lantas, apakah benar bahwa selama ini kita hanya mengakses 10% kemampuan otak kita dan Einstein jenius karena mengakses lebih dari itu?

Ternyata, anggapan tersebut hanyalah mitos. Bahkan, sutradara film “Lucy” sendiri mengakui bahwa cerita dalam filmnya hanyalah fiksi.

Mitos ini diperkirakan berawal dari kesalahpahaman terhadap pernyataan William James, seorang tokoh psikologi Amerika, pada tahun 1900-an.

James meneliti perkembangan seorang anak ajaib bernama William Sidis dan menyatakan bahwa manusia hanya menggunakan sebagian kecil dari keseluruhan potensi mentalnya.

Pernyataan ini kemudian disalahartikan oleh media dan dikaitkan dengan kemampuan otak dalam bentuk persentase.

Faktanya, semua penelitian tentang otak menunjukkan bahwa tidak ada satu bagian pun dari otak kita yang tidak berfungsi.

Justru, karena berfungsi 100%, para ilmuwan dapat memetakan otak bagian demi bagian berdasarkan fungsinya.

Inilah alasan mengapa Dr. Harvey memotong-motong otak Einstein menjadi 240 bagian untuk diteliti secara detail.

Meskipun mitos 10% kapasitas otak terbantahkan, ada informasi menarik lain tentang otak manusia.

Jumlah koneksi di otak manusia ternyata lebih banyak daripada jumlah bintang di galaksi.

Hal ini disebabkan oleh jumlah sel saraf di otak manusia yang mencapai 100 miliar, dan setiap sel saraf dapat terhubung dengan ribuan sel saraf lainnya, membentuk jaringan saraf dengan total lebih dari 100 triliun koneksi.

Koneksi-koneksi saraf ini merepresentasikan memori dan proses belajar.

Ketika kita mempelajari hal baru, koneksi baru akan terbentuk dan koneksi yang sudah ada akan semakin kuat jika diulang-ulang.

Otak akan semakin efektif berpikir jika mendapatkan stimulus yang cukup.

Fenomena ini dalam neurosains dikenal sebagai neuroplastisitas, yang artinya otak tidak statis tetapi plastis dan dapat beradaptasi tergantung seberapa sering kita menggunakannya.

Inilah yang mungkin terjadi pada otak Einstein. Karena ia terus-menerus berpikir tentang sains dan hukum alam, struktur otaknya pun mengalami perubahan. (Iwan H)

Sumber: Youtube – Rumah Editor

Rekomendasi