Filosofi Stoik: Rahasia Mencintai Diri Sendiri Sebelum Menolong Sesama, Apakah Anda Sudah Tahu?

Filosofi stoik mengajarkan bahwa hidup adalah tentang kendali atas diri sendiri (Foto: Youtube/DailyStoik)

BERITATERBERITA – Pernahkah Anda merasa bangga menjadi orang yang selalu hadir untuk orang lain? Kita ada saat mereka membutuhkan tempat bersandar, siap mendengarkan tanpa henti, dan rela mengesampingkan kebutuhan diri sendiri. Orang-orang yang kita sayangi itu mulia, namun pernahkah Anda merasa lelah bukan karena pekerjaan atau beratnya dunia, melainkan karena diri sendiri yang terasa kosong?

Bayangkan diri Anda seperti sebuah cangkir yang terus-menerus menuangkan air untuk semua orang: keluarga, teman, rekan kerja, bahkan orang asing. Namun, Anda lupa satu hal penting: tidak ada yang mengisi ulang cangkir Anda. Pada akhirnya, Anda akan merasa habis, kosong, dan ketika Anda membutuhkan seseorang untuk mengisi ulang diri Anda, tidak ada yang benar-benar menyadari bahwa Anda sedang kekeringan. Ini bukanlah kisah tentang egois, melainkan tentang menjaga batasan yang sehat dan keberanian untuk mencintai diri sendiri.

Di dunia yang sering kali menyanjung pengorbanan, kita diajarkan bahwa menjadi baik berarti menomorsatukan orang lain. Kita dididik untuk menjadi anak yang patuh, teman yang setia, pasangan yang pengertian, dan pekerja yang bisa diandalkan. Namun, tidak ada yang benar-benar mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang adil terhadap diri sendiri. Kita tumbuh dengan kebiasaan mendahulukan kebutuhan orang lain, bahkan ketika diri kita sendiri mulai berteriak meminta perhatian.

Filosofi stoik mengajarkan bahwa hidup adalah tentang kendali atas diri sendiri, bukan atas dunia di luar kita. Kita tidak bisa memaksa orang untuk menyayangi kita, atau untuk bersikap sesuai dengan harapan kita. Fokus utama adalah pada bagaimana kita merespons segala sesuatu yang terjadi. Kita berharap bisa diterima, dikasihi, dan dianggap berharga dengan selalu hadir bagi orang lain. Namun, apakah kita benar-benar menyayangi mereka jika yang kita korbankan adalah keberadaan diri sendiri?

Saat kita terlalu sibuk merawat orang lain, siapa yang merawat diri kita? Ketika kita selalu mendengarkan keluh kesah seseorang, kapan kita punya ruang untuk berbicara? Dan saat kita terbiasa hidup demi validasi dari luar, apa jadinya saat dunia tidak lagi memberi tepuk tangan? Dalam dunia yang keras ini, mencintai diri sendiri adalah bentuk keberanian, memilih untuk tidak selalu menjadi penolong adalah sebuah pilihan yang sehat. Stoisisme bisa menjadi landasan kokoh untuk keyakinan inti bahwa kita sebagai manusia berhak untuk utuh, untuk tenang, dan untuk menyayangi diri sendiri.

Realita yang sering kali kita alami tanpa sadar adalah adanya pola-pola yang tampak sepele namun diam-diam menguras energi dan merusak keseimbangan hidup kita. Bagian ini akan membuka mata kita terhadap berbagai bentuk masalah yang muncul saat kita terus-menerus mengutamakan kebutuhan orang lain, sekaligus menjadi dasar penting mengapa kita perlu memahami dan menerapkan prinsip filosofi stoik. Banyak orang hidup dalam siklus yang tidak disadari: mengutamakan orang lain, merasa kecewa karena tidak mendapatkan balasan yang setimpal, lalu kembali lagi mengutamakan orang lain demi harapan yang sama.

Ini seperti menanam benih di tanah yang tandus, berharap suatu hari akan tumbuh pohon yang rindang. Namun, benih itu pun tidak akan pernah tumbuh karena kita lupa bahwa tanah itu bukan tempat yang tepat. Masalahnya bukan hanya soal kekecewaan. Sering kali, kita mulai kehilangan arah. Kita lupa apa yang sebenarnya kita inginkan karena terlalu sibuk memenuhi keinginan orang lain. Kita sedang berjuang, kita merasa tertekan, kita merasa bersalah karena mengatakan tidak, atau kita merasa tidak enak karena mengambil waktu untuk diri sendiri.

Bahkan, ada juga yang mengabaikan waktu, tenaga, dan kesehatan demi membantu orang lain. Sebaliknya, kita jarang memberi terlalu banyak tanpa menerima dukungan yang sepadan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketika akhirnya kita berani berhenti atau tidak lagi sanggup, kita merasa bersalah seolah-olah kita telah berbuat jahat hanya karena memilih untuk pulih sendiri. Inilah lingkaran setan yang membuat banyak orang terus-menerus terperangkap dalam peran penolong, padahal mereka sendiri sedang membutuhkan pertolongan.

Peran penolong memang terlihat mulia di permukaan, tapi dalam jangka panjang, ini bisa menjadi bumerang yang menyakitkan. Kita menjadi tempat sampah emosi orang lain, menjadi solusi instan bagi masalah orang lain. Namun, ketika diri sendiri rapuh, tidak ada yang menengok. Kita kecewa, kita merasa tidak dihargai, kita marah, tapi tidak bisa menyalahkan siapa pun karena kita sendiri yang menciptakan pola itu. Mengapa stoisisme penting dalam konteks ini? Karena stoisisme mengajarkan kita untuk mengenali batasan, tahu apa yang bisa kita kendalikan dan yang tidak, dan kita bisa memilih untuk membantu orang lain, tapi kita juga bisa memilih untuk mengurus diri sendiri terlebih dahulu.

Satu ulasan buka mata selanjutnya, kita akan mengulas enam konsekuensi nyata yang bisa terjadi ketika kita terus-menerus menempatkan orang lain di atas diri sendiri. Pertama, kehilangan identitas diri. Ketika kita terlalu sering mengutamakan orang lain, kita mulai kehilangan koneksi dengan siapa diri kita sebenarnya. Kita mulai hidup berdasarkan ekspektasi orang lain, bukan berdasarkan nilai dan tujuan hidup pribadi. Identitas kita tergerus oleh peran yang terus-menerus kita mainkan.

Bayangkan diri Anda seperti aktor yang terus tampil di atas panggung, memainkan berbagai peran sesuai naskah yang diberikan orang lain. Hari ini Anda menjadi anak yang sempurna, besok teman yang selalu bisa diandalkan, lusa pasangan yang serba mengerti. Tapi setelah tirai panggung ditutup dan tepuk tangan berhenti, Anda berdiri di balik panggung, lupa sebenarnya siapa Anda tanpa kostum dan naskah itu. Stoisisme menekankan hidup selaras dengan kodrat dan jati diri kita. Ini bukan tentang menjadi apa yang dunia inginkan, tapi menjadi versi terbaik dari diri kita yang sejati.

Ketika kita terlalu lama hidup berdasarkan ekspektasi luar, kita mengabaikan panggilan batin kita. Kita berhenti bertanya, “Apa yang benar-benar penting bagiku? Apa yang membuat hidupku bermakna?” Untuk keluar dari situasi ini, kita bisa memulai dengan praktik refleksi harian. Sisihkan waktu beberapa menit setiap malam untuk menulis jurnal. Apa yang saya lakukan hari ini? Apakah itu mencerminkan nilai-nilai yang saya yakini? Apakah saya bertindak karena saya ingin atau karena saya takut mengecewakan orang lain?

Contoh praktis lainnya adalah menyusun ulang rutinitas berdasarkan kebutuhan dan keinginan pribadi. Jika selama ini kamu hanya punya waktu untuk tinggal di rumah, coba sisihkan waktu untuk pergi ke taman, membaca buku yang kamu sukai, atau menjalani hobi yang membuatmu merasa hidup kembali. Menemukan kembali identitas bukan proses instan, tapi setiap kali kamu memilih mendengarkan suara hatimu dibandingkan suara dunia, kamu sedang melangkah satu langkah lebih dekat pada dirimu yang sejati.

Kedua, kelelahan emosional dan fisik. Terus-menerus hadir bagi orang lain tanpa jeda untuk mengisi ulang energi akan membuat tubuh dan pikiran kita runtuh. Kita menjadi mudah marah, sensitif, bahkan mengalami burnout. Dan semua itu terjadi karena kita lupa memprioritaskan pemulihan diri. Tubuh dan pikiran kita seperti baterai. Jika setiap hari kita mengisi baterai ponsel tanpa pernah mengisi ulang energi dalam diri sendiri, lama-lama sistem akan rusak. Kita jadi gampang tersinggung, sulit fokus, bahkan kehilangan semangat hidup. Kelelahan ini tidak selalu tampak di luar, tapi dalam hati kita tahu kita sedang habis-habisan.

Stoisisme mengajarkan pentingnya self-care sebagai bentuk kebajikan, bukan kemewahan. Seperti yang dikatakan oleh Seneca, kita harus meluangkan waktu untuk diri kita sendiri. Dalam konteks ini, memilih untuk beristirahat bukanlah tanda kelemahan, tapi keberanian untuk mengenali batas. Salah satu cara keluar dari kelelahan ini adalah dengan menerapkan prinsip pengendalian diri. Jangan menerima semua permintaan yang datang. Jangan hadiri semua undangan, dan jangan merasa bersalah saat memilih untuk diam dan menenangkan diri.

Misalnya, jadwalkan waktu hanya untuk diri sendiri dalam seminggu, entah itu membaca, berjalan kaki tanpa tujuan, atau sekadar duduk tanpa tuntutan. Latih juga mindfulness, selalu sadar akan apa yang kamu rasakan dan kenapa kamu merasa demikian. Jika tubuh lelah dan emosimu rapuh, itu bukan karena kamu kurang baik, tapi karena kamu terlalu sering lupa bahwa kamu juga manusia. Ingatlah bahwa mesin paling kuat pun butuh jeda, dan kamu jauh lebih berharga dari mesin mana pun.

Ketiga, kekecewaan kronis. Harapan tanpa keseimbangan sering melahirkan kekecewaan. Kita berharap orang lain akan melakukan hal yang sama untuk kita, tapi kenyataannya tidak demikian. Kita merasa tidak dihargai, dilupakan, bahkan dikhianati. Ibarat menanam bunga di taman orang lain dan berharap mereka menanam bunga juga di taman kita. Kita sering kali kecewa saat menyadari bahwa mereka bahkan tidak menyirami tanamannya sendiri. Kita berharap kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan yang setimpal, tapi realitas tidak selalu berjalan demikian.

Dalam prinsip stoik, kekecewaan lahir dari harapan terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita. Seperti yang dikatakan oleh Epictetus, “Jika kamu tidak ingin kecewa, jangan berharap apa pun dari luar dirimu.” Kita bisa mencintai, memberi, dan hadir untuk orang lain. Namun, kita harus melakukan semua itu bukan demi balasan, tapi karena itu adalah ekspresi dari nilai-nilai kita. Cara menerapkannya adalah dengan memindahkan fokus dari pertanyaan “Apakah mereka akan membalas?” menjadi “Apakah ini selaras dengan siapa saya ingin menjadi?”

Misalnya, saat membantu teman yang sedang kesulitan, tanyakan pada dirimu sendiri, “Apakah saya melakukan ini karena saya peduli atau karena saya ingin dianggap penting olehnya?” Jika jawabannya adalah kamu peduli, maka bantu dan lepaskan harapan akan balasan. Praktik lainnya adalah melatih membayangkan skenario terburuk sebelum bertindak. Bukan untuk menjadi pesimis, tapi agar kita siap mental ketika harapan tidak terpenuhi. Dengan begitu, kekecewaan tidak lagi menghantam seperti badai yang tiba-tiba, ia jadi seperti hujan ringan: kita tahu akan datang dan kita sudah membawa payung.

Keempat, ketergantungan sosial. Kita menjadi terlalu tergantung pada penerimaan dan pujian dari orang lain. Validasi eksternal menjadi satu-satunya tolok ukur harga diri. Tanpa pujian atau ucapan terima kasih, kita merasa tidak berguna. Ibarat cermin retak, kita mencoba melihat citra diri melalui pantulan dari orang lain. Setiap pujian menjadi lem, dan setiap kritik menjadi pecahan tajam yang melukai. Namun, selama kita menggantungkan nilai diri pada apa yang dikatakan oleh orang lain, kita tidak pernah benar-benar melihat diri kita dengan utuh.

Dalam stoisisme, kita diajak untuk membangun ketenangan batin berdasarkan nilai-nilai yang berasal dari dalam, bukan dari luar. Marcus Aurelius pernah menulis, “Kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu.” Artinya, jika kita bergantung pada pikiran orang lain tentang kita, maka hidup kita akan naik turun mengikuti opini yang tidak bisa kita kendalikan. Cara keluar dari jebakan ini adalah dengan memperkuat identitas dan prinsip hidup. Misalnya, kamu bisa mulai mencatat hal-hal baik yang kamu lakukan setiap hari, bukan untuk dipuji, tapi untuk menghargai dirimu sendiri.

Jadikan itu ritual refleksi yang mengingatkan bahwa kamu berharga karena kamu siapa, bukan karena apa yang orang lain katakan. Saat seseorang tidak mengucapkan terima kasih setelah kamu membantunya, latih dirimu untuk berkata dalam hati, “Saya melakukannya karena itu sejalan dengan nilai yang kupegang, bukan demi pujian.” Ini adalah bentuk kebebasan emosional yang diajarkan stoisisme: membantu karena itu tindakan baik, bukan karena ingin disanjung. Dengan berlatih melepaskan kebutuhan akan validasi eksternal, kita mulai membangun fondasi harga diri yang kokoh seperti akar pohon yang menancap dalam tanah. Meski angin kencang mengguncang, kita tetap berdiri tegak karena tahu siapa kita dan mengapa kita melakukan sesuatu.

Kelima, hilangnya batas sehat. Kita sulit berkata tidak meski hati menjerit. Kita membiarkan orang lain melanggar batas karena kita takut dianggap egois. Padahal, batas sehat adalah fondasi dari hubungan yang sehat dan berkelanjutan. Ibarat rumah, batas sehat adalah pagar yang melindungi kenyamanan dan keamanan kita. Tanpa pagar, siapa pun bisa masuk sesuka hati, mengotori taman, bahkan merusak isi rumah. Kita pun harus memiliki keberanian untuk membangun pagar itu, bukan untuk menjauhkan orang lain, tapi untuk memastikan siapa yang layak masuk dan sejauh mana mereka boleh melangkah.

Dalam prinsip stoik, pengendalian diri dan kebijaksanaan adalah dua dari empat kebajikan utama. Menegakkan batas bukan berarti kita tidak peduli, melainkan kita sedang menerapkan kebijaksanaan dalam menjaga ketenangan batin. Seperti yang diajarkan Epictetus, “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu berhenti mengkhawatirkan hal-hal yang berada di luar kendali kita.” Salah satu hal yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita merespons permintaan orang lain.

Contoh praktisnya, saat kamu merasa lelah dan temanmu meminta bantuan yang tidak mendesak, kamu bisa berkata dengan tenang, “Maaf, aku sedang butuh waktu untuk istirahat. Kamu bisa bicara besok.” Ini bukan penolakan terhadap hubungan, melainkan menjaga agar hubungan itu sehat. Temanmu yang baik akan memahami. Belajar berkata tidak adalah proses bertumbuh. Awalnya terasa berat seperti melawan arus yang sudah terbentuk sejak lama, tapi semakin sering kita melatihnya, semakin kuat otot mental kita. Menjaga ruang pribadi dengan batasan yang sehat, kita menciptakan relasi yang saling menghormati, bukan yang saling memanfaatkan.

Keenam, menunda pertumbuhan pribadi. Fokus kita tersedot untuk memecahkan masalah orang lain, sementara impian, cita-cita, dan pengembangan diri kita sendiri terbengkalai. Kita menunda kelas yang ingin kita ikuti, mimpi yang ingin dicapai, semua demi orang lain yang bahkan belum tentu mengerti pengorbanan kita. Bayangkan kamu adalah seorang tukang kebun yang setiap hari menyerami taman orang lain. Rumput mereka hijau, bunga mereka mekar, dan semua orang memuji keindahan taman itu. Tapi kamu lupa, kamu juga punya lahan kecil yang kering, penuh gulma, dan tidak pernah disentuh air. Lama-lama, kamu sendiri tidak tahu lagi bagaimana cara menumbuhkan sesuatu untuk dirimu sendiri.

Prinsip stoik dapat menuntun kita keluar dari jebakan ini. Salah satunya adalah dichotomy of control, membedakan antara hal yang bisa kita kendalikan dan yang tidak. Kita tidak bisa mengontrol ekspektasi orang lain atau bagaimana mereka membalas kebaikan kita, tapi kita bisa mengontrol waktu dan energi yang kita alokasikan untuk diri sendiri. Kita bisa berkata, “Hari ini, 1 jam saya akan digunakan untuk belajar hal baru yang mendekatkan saya pada impian saya.”

Contoh konkretnya, jika selama ini kamu selalu membatalkan kelas pengembangan diri karena kamu harus menemani teman curhat, mulai sekarang jadwalkan waktu sakral untuk dirimu sendiri. Anggap itu janji penting yang tidak bisa dibatalkan. Sama seperti kamu tidak bisa membatalkan janji dengan orang penting, kamu juga pantas untuk menjadi orang penting bagi dirimu sendiri. Dengan kesadaran stoik, kamu akan paham bahwa menumbuhkan diri bukanlah kemewahan, itu adalah kebutuhan. Karena saat kamu bertumbuh, kamu bisa memberi dari tempat yang lebih penuh, dan itu jauh lebih berharga dibanding terus memberi dari ruang yang kosong. Ini adalah titik balik dari segalanya.

Setelah menyadari risiko-risiko yang muncul akibat terlalu sering mengabaikan diri sendiri, sekarang saatnya kita menghadapi pada satu momen penting: refleksi diri. Sebuah analogi sederhana namun penuh makna yang mengajak kita untuk benar-benar memahami pentingnya mencintai dan menyelamatkan diri lebih dulu. Bayangkan kamu sedang berada di pesawat, tiba-tiba masker oksigen turun. Apa instruksi yang selalu diberikan? Pasang masker ke diri Anda terlebih dahulu sebelum membantu orang lain. Ini bukan egois, ini logika. Karena jika kamu tidak bernapas, bagaimana kamu bisa menyelamatkan orang lain?

Begitu juga dalam hidup. Kita tidak bisa menuangkan dari cangkir yang kosong. Kita harus belajar mengisi diri sendiri terlebih dahulu. Memberi cinta, perhatian, dan waktu untuk diri sendiri bukanlah kesalahan, ini adalah kebutuhan. Ketika diri kita utuh, kita bisa mencintai orang lain dengan lebih sehat, tanpa menyakiti diri sendiri. Dalam stoisisme diajarkan bahwa kendali atas diri sendiri adalah kebajikan tertinggi, dan memilih untuk menolak permintaan orang lain ketika itu mengorbankan integritas diri adalah bentuk kendali yang dewasa. Kita tidak diciptakan untuk menjadi penyelamat semua orang, kita diciptakan untuk menjalani kehidupan kita dengan bijaksana. Dan kadang, langkah paling berani adalah berkata tidak kepada orang lain demi bisa berkata ya kepada diri sendiri. Karena setiap kali kita menolak suara hati demi menyenangkan orang lain, kita sedang menyakiti jiwa yang seharusnya kita lindungi.

Kita telah menelusuri bagaimana kebaikan yang tidak terkendali justru menjadi luka yang tidak terlihat. Di bagian akhir ini, mari kita simpulkan kembali pesan utama dari perjalanan panjang tadi: bahwa mencintai diri sendiri bukanlah bentuk egoisme, melainkan pondasi dari kehidupan yang utuh dan seimbang. Mengutamakan orang lain memang terasa benar, apalagi jika itu orang yang kita cintai. Tapi cinta yang tidak sehat akan berubah menjadi beban, dan beban yang dipikul terus-menerus akan melemahkan semangat. Saatnya kita menyadari bahwa mencintai diri sendiri bukanlah pengkhianatan, melainkan fondasi dari semua bentuk cinta yang sejati.

Stoisisme mengajak kita untuk kembali ke pusat kendali, yaitu diri sendiri. Kita boleh membantu orang lain, tapi kita juga harus tahu kapan kita berhenti. Kita boleh hadir untuk orang lain, tapi kita juga wajib hadir untuk diri sendiri. Karena pada akhirnya, yang akan selalu menemani kita adalah diri kita sendiri. Saat kamu belajar berkata tidak dengan tenang, saat itulah kamu mulai menghormati dirimu, dan itu adalah bentuk cinta yang paling dalam. Mulai hari ini, tanyakan pada dirimu sendiri sebelum berkata ya pada permintaan orang lain, “Apakah ini juga baik untukku?” Jika tidak, belajarlah untuk menolak dengan bijak, bukan karena kamu egois, tapi karena kamu mulai sadar bahwa dirimu juga berharga. (Red)

Rekomendasi