Amerika Serikat Kembali Tempatkan Tentara di Panama untuk Bendung China, Kenapa Oposisi Marah?

Menteri Pertahanan A.S. Pete Hegseth, Administrator Otoritas Terusan Panama Ricaurte Vasquez, dan Komandan Komando Selatan A.S. Laksamana Muda Alvin Holsey melakukan tur di kunci Miraflores, di Panama City, Panama, 8 April 2025 (Foto: GCaptain)

BERITATERBERITA – Suasana politik di Panama memanas akhir pekan lalu menyusul kecaman keras dari pimpinan oposisi terhadap pemerintah.

Pemerintah Panama dituding mengizinkan terjadinya “invasi tanpa melepaskan tembakan” setelah menyetujui penempatan kembali pasukan Amerika Serikat di negara tersebut.

Kesepakatan kontroversial ini sontak membuka kembali perdebatan sengit soal kedaulatan nasional dan pengaruh asing di jalur air strategis itu.

Perjanjian Rahasia Picu Kemarahan

Pada hari Kamis, 10 April 2025 yang lalu, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth secara terbuka mengungkapkan penandatanganan sebuah kesepakatan krusial bersama Panama.

Tujuan resmi kesepakatan itu, menurut Hegseth, adalah untuk “melindungi Terusan Panama dari pengaruh Cina” yang dinilai semakin kuat.

Namun, detail perjanjian yang bersifat rahasia ini segera menuai tuntutan transparansi dari berbagai pihak, termasuk organisasi Transparansi Internasional dan kelompok oposisi Gerakan Jalan Lain (Another Way Movement).

Mereka mendesak pemerintah Panama mempublikasikan isi lengkap perjanjian tersebut.

Informasi yang beredar menyebutkan kesepakatan itu melibatkan penempatan pasukan AS di tiga bekas pangkalan militer Amerika di Panama.

Selain itu, Angkatan Laut AS juga dipahami akan memperoleh akses “pertama dan bebas” di seluruh jalur Terusan Panama.

Salah satu pemimpin Gerakan Jalan Lain, Ricardo Lombana, secara tegas menyatakan interpretasinya.

“Apapun sebutannya, yang kami baca dalam memo itu adalah pendirian pangkalan militer,” ujarnya geram.

Luka Lama Invasi dan Tudingan Tunduk pada AS

Penempatan pasukan AS ini akan menjadi yang pertama kali terjadi sejak tahun 1999, saat tentara Amerika terakhir kali ditarik dari Panama.

Bagi rakyat Panama, kehadiran kembali militer AS membangkitkan kenangan pahit invasi Amerika pada tahun 1989.

Invasi tersebut meninggalkan luka mendalam, dengan perkiraan jumlah korban sipil tewas berkisar antara ratusan hingga beberapa ribu jiwa.

Leon Lombana, tokoh oposisi lainnya, melontarkan kritik lebih tajam, menyebut Panama kini “diinvasi tanpa melepaskan satu tembakan pun”.

Ia menuduh pemerintah saat ini “pincang dan berlutut” di bawah tekanan kuat dari Amerika Serikat.

Tudingan ini diperkuat fakta bahwa Panama sebelumnya telah menarik diri dari Proyek Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang dipimpin Cina, sebuah proyek pendanaan infrastruktur global, menyusul kritik keras dari Washington.

Perebutan Pengaruh di Jalur Perdagangan Dunia

Pengendalian atas Terusan Panama, yang dilalui sekitar 5 persen total barang perdagangan dunia setiap tahunnya, memang menjadi salah satu fokus utama Presiden AS Donald Trump.

Tekanan dari Washington secara luas disebut-sebut sebagai alasan mengapa perusahaan berbasis di Hong Kong, CK Hutchison, sempat setuju menjual dua fasilitas pelabuhan penting dekat Terusan Panama kepada raksasa investasi AS, Blackrock.

Namun, kesepakatan itu kini dilaporkan mandek setelah CK Hutchison mendapat tekanan balasan dari otoritas Cina.

Presiden Trump sendiri telah menyuarakan keprihatinan lebih luas mengenai dominasi Cina dalam industri pembuatan kapal dan pelayaran global.

Sebagai perbandingan, Cina membangun sekitar 1.000 kapal laut setiap tahun, sementara Amerika Serikat hanya sekitar 10 kapal.

Trump sempat mengusulkan pengenaan biaya tinggi bagi kapal buatan Cina yang berlabuh di pelabuhan AS, meskipun kebijakan ini mungkin melunak setelah reaksi dari importir Amerika.

Keputusan mengizinkan kembali pasukan AS di Panama ini jelas menandai eskalasi baru dalam persaingan pengaruh antara Washington dan Beijing di kawasan Amerika Latin, menjadikan Terusan Panama sekali lagi sebagai pusat perhatian geopolitik global. (Red)

Rekomendasi