
BERITATERBERITA – Di antara gelora revolusi yang membakar semangat kemerdekaan Indonesia, terdapat nyala patriotisme yang berkobar dari timur Nusantara, yaitu sosok Wim Reawaru.
Ia bukan sekadar pemuda kelahiran Ambon, melainkan seorang martir perjuangan yang memilih jalan berbahaya untuk melawan kolonialisme, separatisme, dan ketakutan dengan keberanian dan pengorbanan darah.
Dari kerasnya kehidupan pelabuhan hingga sengitnya medan tempur, Wim Reawaru menjelma menjadi simbol perlawanan rakyat Maluku demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah mozaik dari berbagai peristiwa heroik dan pengorbanan dari seluruh penjuru Nusantara.
Di antara tokoh-tokoh besar yang namanya tercatat dalam tinta emas sejarah, terdapat pula sosok-sosok tangguh yang jasanya tak kalah besar, namun namanya mungkin kurang dikenal oleh generasi kini.
Salah satunya adalah Willem Rewaru, yang lebih akrab disapa Wim, seorang pemuda Ambon yang tidak memilih kehidupan nyaman di bawah bayang-bayang penjajah atau pragmatisme politik.
Sebaliknya, ia menempuh jalan terjal sebagai pejuang sejati republik.
Wim Reawaru bukan hanya seorang nasionalis, ia adalah jiwa dari gerakan rakyat Ambon yang menolak tunduk pada kekuasaan kolonial Belanda maupun upaya pemisahan diri yang dilakukan oleh Republik Maluku Selatan (RMS).
Dalam kesunyian, Wim Reawaru membangun laskar, melatih pemuda-pemuda Ambon, menyusun kekuatan, dan meneriakkan kemerdekaan tanpa kompromi sedikit pun.
Kisahnya adalah potret keberanian yang tulus, keberanian yang pada akhirnya harus dibayar dengan nyawanya di Pantai Liang.
Namun, layaknya api yang padam tidak berarti mati, nama Wim Reawaru tetap membara dalam ingatan sejarah, meskipun hanya samar terbaca di prasasti yang kian usang di Patimura Park, Ambon.
Semangat patriotisme Wim Reawaru, bara dari Ambon, tak pernah benar-benar padam.
Willem Reawaru, atau lebih dikenal dengan sapaan Wim, adalah putra daerah Ambon yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ia gugur sebagai martir saat menghadapi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) dan dikenang sebagai simbol keberanian serta patriotisme dari bumi Maluku.
Wim menempuh pendidikan dasarnya di Ambonce Burger School, sebuah institusi pendidikan kolonial yang cukup bergengsi di Ambon.
Meskipun memiliki semangat belajar yang tinggi, keterbatasan ekonomi keluarganya menghalanginya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah tamat sekolah, ia bekerja di perusahaan pelayaran milik Belanda, Koning Klicke Paket Faart Maat Chapic (KPM).
Di tempat inilah Wim menyaksikan secara langsung ketimpangan dan ketidakadilan sistem kolonial yang jelas memihak kepada penjajah.
Di tengah kerasnya kehidupan sebagai seorang pekerja di pelabuhan, benih nasionalisme dalam diri Wim Reawaru mulai tumbuh subur.
Ia banyak membaca literatur sejarah perjuangan bangsa Indonesia, terutama kisah heroik Perang Patimura pada tahun 1817 yang sangat menggugah semangat perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajahan.
Tak hanya itu, pemikiran-pemikiran tajam dari Bung Karno mengenai antikolonialisme dan antiimperialisme semakin mengasah kesadarannya akan pentingnya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Berbekal semangat yang membara tersebut, Wim menolak untuk tunduk dan bekerja sama dengan penjajah Belanda.
Ia memilih jalan independen sebagai seorang wiraswastawan, sambil sepenuhnya mengabdikan dirinya pada gerakan kebangsaan yang sedang tumbuh pesat di tanah air.
Keputusan inilah yang menjadi awal dari perjalanan panjang Wim Reawaru dalam medan perjuangan politik dan militer di Maluku.
Langkah awal Wim Reawaru dalam kancah politik dimulai ketika ia bergabung dengan Syarekat Ambon, sebuah organisasi politik lokal progresif yang didirikan oleh Alexander Yakopati di Semarang pada tanggal 9 Mei 1920.
Syarekat ini menjadi wadah penting bagi pergerakan kaum intelektual dan nasionalis Maluku untuk menyuarakan hak-hak rakyat dan menentang dominasi kolonial Belanda yang semakin menindas.
Bersama dengan EU Pupela, Wim memimpin Syarekat Ambon di wilayah Ambon dan sekitarnya.
Kiprah mereka dalam membangun kesadaran politik di kalangan rakyat membuat pemerintah kolonial Belanda mencap keduanya sebagai tokoh berbahaya dan subversif.
Namun, justru dari stigma negatif itulah nama Wim Reawaru semakin diperhitungkan sebagai figur perlawanan yang tidak gentar menghadapi tekanan dari pihak kolonial.
Setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa ini ternyata belum sepenuhnya usai.
Wim Reawaru memahami betul bahwa revolusi kemerdekaan harus terus dikawal hingga ke seluruh pelosok negeri.
Tepat setahun setelah proklamasi, pada tanggal 17 Agustus 1946, ia bersama dengan EU Pupela mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM) sebagai wadah politik bagi para tokoh nasionalis lokal yang memiliki komitmen kuat untuk membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai ketua PIM cabang Kota Ambon, Wim sangat aktif dalam membangun jaringan solidaritas dan melakukan konsolidasi massa rakyat.
PIM bukan hanya sekadar instrumen politik, tetapi juga menjadi alat perjuangan yang efektif untuk menyatukan berbagai elemen rakyat Ambon dalam semangat republik.
Di tengah ancaman disintegrasi bangsa, PIM berdiri tegak sebagai benteng perlawanan ideologis terhadap segala bentuk separatisme yang mengancam kedaulatan bangsa Indonesia.
Berbeda dengan EU Pupela yang lebih memilih jalur diplomasi dan perundingan dalam perjuangannya, Wim Reawaru mengambil sikap yang lebih tegas untuk menempuh jalan perjuangan bersenjata.
Baginya, kolonialisme dan separatisme hanya dapat dilawan dengan kekuatan nyata dari rakyat yang terorganisir dengan baik.
Ketika suhu politik di wilayah Indonesia Timur semakin memanas setelah Konferensi Meja Bundar, Wim segera membentuk laskar rakyat yang terdiri dari anggota-anggota PIM dan para simpatisan nasionalis lainnya.
Laskar ini menjadi garda terdepan dalam mempertahankan cita-cita republik dari berbagai rongrongan kekuatan separatis yang ingin memecah belah bangsa.
Wim tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik semata, tetapi juga menerapkan strategi gerilya dan mobilisasi massa untuk menjaga stabilitas dan semangat juang masyarakat.
Langkah ini menunjukkan karakter kepemimpinan Wim Reawaru yang tegas, visioner, dan tanpa kompromi dalam menghadapi segala ancaman terhadap keutuhan bangsa Indonesia.
Dalam upaya untuk memperluas basis perjuangan dan membangkitkan semangat juang di kalangan generasi muda Ambon, Wim Reawaru mengambil alih kepemimpinan Persatuan Pemuda Indonesia (PPI), sebuah organisasi yang awalnya dirintis bersama dengan Paul Maitimu dan Mo Maruapi.
Di bawah kepemimpinan Wim, PPI menjelma menjadi wadah kaderisasi pemuda revolusioner yang disiplin dan terlatih.
Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, Wim tetap konsisten memberikan pelatihan militer dasar kepada para anggota PPI setiap harinya.
Latihan-latihan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata tiruan yang terbuat dari kayu.
Namun, semangat dan militansi yang tertanam dalam diri para pemuda jauh melampaui simbol-simbol senjata itu sendiri.
Sebagian besar anggota PPI berasal dari kampung-kampung di Pulau Ambon, yang mencerminkan keterlibatan rakyat akar rumput dalam perjuangan mempertahankan republik.
Bagi Wim Reawaru, PPI adalah barisan pelopor revolusi.
Ia percaya bahwa pemuda adalah tulang punggung bangsa, dan mereka harus ditempa dengan disiplin ideologi serta keberanian untuk menghadapi ancaman separatisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun.
Kiprah Wim Reawaru semakin mencuat ketika ia menjadi perwakilan Partai Indonesia Merdeka (PIM) dalam Dewan Maluku Selatan, sebuah forum politik yang menjadi ajang adu gagasan antara berbagai kekuatan politik lokal.
Di sana, Wim duduk bersama dua tokoh penting lainnya, yaitu EU Pupela dan Chokro.
Namun, berbeda dari kedua koleganya yang cenderung bersikap moderat, Wim tampil sebagai sosok radikal yang tidak segan menyuarakan sikap keras demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Ia dikenal sebagai seorang orator ulung yang mampu membakar semangat para pendengarnya.
Gaya bicaranya lugas, penuh semangat, dan mampu menggugah kesadaran nasionalisme.
Dalam setiap perdebatan, Wim selalu menekankan bahwa Maluku adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.
Sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi ini membuatnya menjadi musuh utama bagi Tentara Republik Maluku Selatan (RMS), yang menganggapnya sebagai ancaman serius bagi cita-cita separatis mereka.
Tragedi mencapai puncaknya pada tanggal 23 Juli 1950.
Wim Reawaru bersama tiga rekan seperjuangannya ditangkap oleh tentara khusus RMS.
Mereka ditahan dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi dan mengalami penyiksaan brutal yang mencerminkan kebencian mendalam terhadap perjuangan nasionalis yang mereka lakukan.
Setelah menjalani penyiksaan di Batu Chapeo, negeri Amahusu, Wim dan rekan-rekannya kemudian digiring menuju Pantai Hunimua, negeri Liang.
Di tepian pantai yang tenang namun syarat dengan nuansa duka, Wim Reawaru dieksekusi secara kejam oleh tentara separatis RMS.
Ia meregang nyawa sebagai seorang patriot sejati, mempertahankan kehormatan, cita-cita republik, dan tanah tumpah darahnya.
Darah yang tumpah di Liang bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan permulaan dari warisan perjuangan yang terus menyala dalam ingatan bangsa.
Perjuangannya menjadi tonggak sejarah dan sumber inspirasi bagi generasi penerus bangsa Indonesia.
Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan pengorbanannya yang luar biasa, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar perintis dan pejuang kemerdekaan kepada Wim Reawaru.
Namanya diabadikan sebagai Jalan Wimreawaru di Kota Ambon, terletak tepat di belakang kantor gubernur Maluku, sebuah lokasi strategis yang mencerminkan peran sentralnya dalam sejarah lokal dan nasional.
Tak hanya itu, namanya juga diabadikan dalam bentuk prasasti berbintang yang mengelilingi patung Patimura di Patimura Park, Ambon.
Prasasti tersebut sejatinya menjadi simbol penghargaan dan pengingat abadi bahwa dari tanah Ambon telah lahir sosok pejuang tangguh yang memilih mati demi tegaknya merah putih.
Namun, sangat disayangkan, kondisi prasasti berbintang itu kini memprihatinkan.
Kurangnya perhatian dan perawatan membuat banyak nama pahlawan, termasuk nama Wim Reawaru, nyaris tak terbaca lagi.
Tulisan-tulisan yang dahulu diukir dengan penuh kehormatan kini telah memudar, bahkan sebagian besar telah hilang ditelan waktu.
Keadaan ini mencerminkan ironi sejarah bahwa perjuangan agung terkadang terlupakan dalam diamnya prasasti dan sunyinya taman.
Wim Reawaru bukan sekadar pahlawan lokal.
Ia adalah bagian integral dari kisah besar Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Semangat juangnya adalah bara yang tak pernah padam, menyala dalam ingatan sejarah dan hati setiap insan yang mencintai republik ini. (Dhet)
Sumber: Youtube – QJP OFFICIAL