
BERITATERBERITA – Dari Pulau Haruku di Maluku, muncul seorang tokoh yang menjadi nyala perlawanan dari timur Nusantara, yaitu Abdul Kadir Tuakia.
Dalam gelombang kolonialisme pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia memimpin dengan keberanian dan prinsip yang teguh, mulai dari medan tempur hingga ruang sidang kolonial.
Kisahnya adalah bukti nyata bahwa dari tanah yang seringkali dilupakan, lahir keberanian yang tak tergoyahkan.
Perjuangan Abdul Kadir Tuakia mengajak kita untuk tidak melupakan bahwa kemerdekaan ini juga ditebus oleh darah dan semangat dari ujung timur Nusantara.
Dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, tak sedikit kisah besar yang lahir dari pangkuan tanah kecil.
Pulau Haruku di Kepulauan Maluku, meskipun terlihat mungil di peta, menyimpan semangat besar yang turut menyalakan obor kemerdekaan.
Dari tanah inilah lahir sosok Abdul Kadir Tuakia, seorang pemuda yang kelak menjelma menjadi simbol keberanian dan dedikasi tanpa batas terhadap Republik Indonesia yang saat itu masih rapuh dan dirongrong dari segala penjuru.
Ketika para penjajah berupaya kembali menancapkan kuku kekuasaan melalui NICA dan Knil, Tuakia tidak sekadar berdiri menentang.
Ia memimpin, menyusun kekuatan, dan melawan melalui organisasi Prima, mulai dari serangan simbolik di Namlea hingga tindakan heroik dalam ruang sidang kolonial.
Kisah hidupnya bukan sekadar catatan perlawanan, tetapi sebuah epos tentang keteguhan hati seorang anak negeri yang memilih setia pada merah putih, bahkan ketika nyawanya menjadi taruhannya.
Kisah Abdul Kadir Tuakia mengajak kita menelusuri jejaknya bukan hanya sebagai bagian dari masa lalu, tetapi sebagai teladan abadi bagi bangsa yang tak boleh lupa bahwa kemerdekaan ini juga ditebus oleh darah dan semangat dari ujung timur Nusantara.
Lahir dan besar di Pulau Ori, sebuah negeri kecil di Pulau Haruku, Abdul Kadir Tuakia menyerap nilai-nilai kebudayaan lokal dan semangat kolektif masyarakat Maluku yang tangguh.
Wilayah ini memiliki posisi strategis, tidak hanya secara geografis tetapi juga dalam dinamika sosial politik di masa revolusi nasional.
Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada akhir Perang Dunia II dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Maluku tidak luput dari gejolak.
Pulau-pulau yang selama ini menjadi ladang eksploitasi kolonial berubah menjadi medan pertarungan antara semangat nasionalisme yang membara dan kekuatan kolonial Belanda yang ingin merebut kembali kendali melalui NICA.
Dalam konteks inilah jejak perjuangan Abdul Kadir Tuakia dimulai, sebuah perjalanan yang akan menempatkannya di jantung sejarah perjuangan republik di wilayah timur Indonesia.
Ketika bayang-bayang kekuasaan Jepang menyelimuti Hindia Belanda, Abdul Kadir Tuakia memulai kiprah militernya sebagai anggota Heiho di Sulawesi Selatan pada tahun 1943.
Keikutsertaannya dalam organisasi militer bentukan Jepang ini memberinya bekal awal tentang disiplin, strategi, dan medan tempur.
Namun, bukan kepatuhan kepada penjajah yang ia pelihara, melainkan semangat untuk suatu hari mengabdi bagi tanah air yang merdeka.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan keluarnya maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, Tuakia segera mengalihkan loyalitasnya kepada republik.
Ia pun bergabung dengan TKR dan turut serta dalam upaya mempertahankan Sulawesi Selatan dari penetrasi militer Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Di sinilah karakter militer dan nasionalismenya semakin mengeras, menjadikannya salah satu kader pejuang republik yang andal dan berani.
Maret 1946 menjadi tonggak penting dalam sejarah gerakan pemuda Maluku ketika Abdul Kadir Tuakia menggagas dan memimpin terbentuknya organisasi Pemuda Republik Indonesia Maluku (Prima).
Organisasi ini lahir di tengah suasana yang penuh gejolak, tepatnya di Ori Pelau, Pulau Haruku, sebuah kawasan dengan tradisi perlawanan dan kesadaran politik yang kuat.
Tuakia tidak berjalan sendiri; ia didampingi oleh tokoh-tokoh muda seperti Abdul Manaf Latuonsina dan Ahmad Husein Tuas Sikal, yang bersama-sama membentuk fondasi gerakan pemuda yang berkomitmen terhadap cita-cita kemerdekaan.
Di tengah upaya Belanda untuk kembali menguasai wilayah Maluku pasca proklamasi kemerdekaan, Prima hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kolonial.
Organisasi ini menjadi wadah konsolidasi pemuda yang menolak tunduk pada kekuasaan lama dan memilih berdiri teguh bersama Republik Indonesia.
Melalui berbagai inisiatif, Prima menjadi suara alternatif dari generasi muda Maluku yang ingin menentukan masa depannya sendiri tanpa intervensi asing.
Kepemimpinan Tuakia sangat menentukan arah gerakan Prima.
Ia berhasil menyalakan semangat perjuangan lintas komunitas dan wilayah.
Meskipun sebagian besar anggotanya berasal dari kalangan pemuda Islam dari Pelau Ori, Buton, dan Kei, semangat inklusif ini menjadikan Prima bukan hanya sebagai kelompok lokal, melainkan kekuatan kolektif yang mampu menyatukan keragaman identitas dalam satu semangat perjuangan membela republik.
Pertumbuhan Prima berlangsung pesat.
Dalam waktu singkat, organisasi ini menjadi kekuatan sipil yang diperhitungkan di Ambon dan sekitarnya.
Aksi-aksi yang mereka lakukan tidak hanya bersifat simbolik tetapi juga strategis, menggugah kesadaran masyarakat serta membangkitkan keberanian untuk melawan tekanan kolonial.
Keberadaan Prima menjadi bukti nyata bahwa semangat nasionalisme Indonesia hidup dan berkembang juga di tanah Maluku, bukan hanya terpusat di Jawa atau Sumatera.
Dalam konteks ini, Prima bukan sekadar organisasi pemuda, melainkan simbol bara perjuangan yang menyala di tengah badai kolonialisme.
Jejak langkah mereka meninggalkan warisan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, warisan yang patut dikenang dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Setelah tentara Australia yang mendukung kepentingan Belanda kembali menguasai Ambon, upaya sistematis dilakukan oleh Belanda untuk menanamkan kembali kekuasaannya di wilayah Maluku melalui NICA.
Dalam menghadapi ancaman ini, Prima di bawah komando Abdul Kadir Tuakia berkoalisi erat dengan Badan Pembela Indonesia (BPI), menjadi garda terdepan dalam menentang infiltrasi kolonial tersebut.
Perlawanan ini tidak hanya bersifat simbolik atau sporadis, melainkan merupakan bentuk perjuangan yang terorganisir dan melibatkan jaringan pemuda lintas daerah.
Prima dan BPI menjadi kekuatan tanding terhadap segala bentuk upaya restorasi kekuasaan kolonial, menegaskan bahwa rakyat Maluku tidak akan tinggal diam menghadapi kembalinya era penjajahan.
Dalam konteks ini, Prima menjelma menjadi lebih dari sekadar organisasi pemuda; ia adalah wajah perjuangan republik di kawasan yang tengah bergolak.
Salah satu babak paling dramatis dalam kiprah Prima terjadi pada 8 April 1946 di Namlea, Pulau Buru.
Dalam aksi yang sarat keberanian dan simbolisme nasionalis, salah satu pemimpin Prima, Hamid Kodja, bersama Adam Pati Sahusiwa, Abdullah bin Thalib, dan Jamaluddin Mahulete, memimpin penyerbuan ke kantor HPB, simbol administratif kekuasaan kolonial Belanda di daerah itu.
Dalam insiden tersebut, mereka merobek bagian biru dari bendera Belanda, menyisakan warna merah dan putih, lalu mengibarkannya kembali sebagai lambang kedaulatan Republik Indonesia.
Tindakan ini bukan hanya simbol perlawanan terhadap penjajahan, melainkan sebuah pernyataan tegas bahwa rakyat Buru memilih berada di pihak republik.
Dengan nyala merah putih di tiang tertinggi Namlea, Prima mempertegas bahwa revolusi bukan sekadar wacana di pulau-pulau besar, tetapi juga menjadi denyut nadi perlawanan di pulau-pulau terluar Nusantara.
Pada 30 April 1946, bertepatan dengan perayaan ulang tahun Ratu Yuliana, sebuah insiden penting terjadi di Ambon yang mencerminkan semakin menguatnya perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
Prima, sebagai organisasi pemuda revolusioner yang lahir dari semangat kemerdekaan, melancarkan aksi sabotase terhadap perayaan tersebut.
Aksi ini bukan sekadar bentuk gangguan, melainkan simbol penolakan terhadap upaya Belanda untuk kembali mengukuhkan dominasinya di Maluku pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tindakan Prima menunjukkan dengan jelas bahwa rakyat Maluku, khususnya generasi muda, tidak tinggal diam menghadapi upaya penjajahan ulang.
Aksi ini menjadi bentuk ekspresi politik yang tegas dari kelompok yang selama ini berada di garis depan perlawanan lokal dan memperlihatkan bahwa semangat kemerdekaan telah meresap hingga ke wilayah timur Nusantara.
Respon otoritas kolonial berlangsung cepat dan represif.
Pasukan Knil segera melakukan penangkapan besar-besaran terhadap para pemuda yang dicurigai terlibat, termasuk anggota-anggota Prima.
Tujuannya jelas: memutus jaringan perlawanan sebelum mengakar lebih luas.
Namun, meskipun menghadapi tekanan yang begitu intens, sebagian kader Prima berhasil meloloskan diri dan meneruskan perjuangan mereka di tempat lain.
Peristiwa ini memperlihatkan bahwa meskipun aparat kolonial berupaya menciptakan kesan stabilitas dan kendali, resistensi dari rakyat Maluku tidak pernah benar-benar surut.
Aksi sabotase pada 30 April bukan hanya mengguncang perayaan seremonial, tetapi juga mengganggu narasi kekuasaan yang ingin dibangun kembali oleh Belanda.
Menjelang akhir tahun 1946, dalam upaya memperkuat pengaruh dan mempertahankan cengkeraman atas wilayah Maluku, Pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah monumen di Kota Ambon.
Monumen ini dirancang sebagai penghormatan atas apa yang mereka klaim sebagai kesetiaan abadi masyarakat Ambon terhadap kerajaan Belanda, khususnya selama masa-masa konflik dan gejolak revolusi Indonesia.
Dalam suasana pasca perang yang penuh ketegangan dan ketidakpastian, pembangunan monumen ini menjadi bagian dari strategi simbolik Belanda untuk menegaskan kembali klaimnya sebagai kekuasaan yang sah di wilayah tersebut.
Di atas monumen tersebut terpatri tulisan “door de eeuwen trouw” yang dalam bahasa Indonesia berarti “kesetiaan sepanjang masa”.
Kalimat ini tidak sekadar menjadi slogan, tetapi merupakan bagian dari narasi besar yang ingin dibentuk oleh Belanda bahwa orang Ambon dan secara lebih luas rakyat Maluku adalah mitra setia kolonialisme.
Narasi ini berupaya menutupi fakta bahwa sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, telah tumbuh gelombang perlawanan dari berbagai elemen masyarakat Maluku, terutama dari kalangan muda yang tergabung dalam gerakan-gerakan nasionalis seperti Prima.
Alih-alih menjadi simbol kehormatan, keberadaan monumen tersebut justru menyinggung kesadaran kolektif para pemuda dan rakyat yang menyadari adanya manipulasi sejarah yang dilakukan secara terang-terangan.
Mereka melihat monumen itu sebagai alat propaganda yang mencederai perjuangan rakyat Maluku dan menegasikan semangat kemerdekaan yang telah tumbuh subur di tengah tekanan kolonial.
Sebagai bentuk perlawanan simbolik dan koreksi historis, sekelompok pemuda nasionalis melakukan aksi diam-diam pada suatu malam.
Dengan keberanian dan ketelitian, mereka mengubah tulisan pada monumen itu.
Huruf “T” di kata “trouw” dipahat hingga hilang, dan huruf “R” diganti dengan huruf kapital sehingga frasa tersebut berubah menjadi “door de eeuwen row” yang berarti “menangis sepanjang masa”.
Perubahan satu kata itu mengguncang makna seluruh monumen, dari simbol loyalitas menjadi simbol luka dan penderitaan panjang di bawah penjajahan.
Aksi ini bukan hanya vandalisme, melainkan bentuk artikulasi perlawanan yang cerdas, pesan diam yang lantang terhadap narasi kolonial yang dipaksakan.
Ia menjadi penanda bahwa ingatan kolektif rakyat tidak bisa dibungkam oleh batu dan tulisan, dan bahwa sejarah yang sejati ditulis oleh mereka yang berani melawan.
Aktivitas-aktivitas Abdul Kadir Tuakia dan Prima tak luput dari pantauan dan tindakan represif pasukan Knil.
Setelah beberapa waktu bersembunyi di Dusun Hawa Ori, ia akhirnya tertangkap dan dibawa ke Ambon untuk diadili oleh pengadilan kolonial.
Namun, alih-alih tunduk dan menunjukkan penyesalan, Tuakia menjadikan ruang sidang sebagai panggung perjuangan moral.
Dengan penuh keberanian, ia hadir mengenakan setelan putih lengkap dengan dasi merah, simbol langsung dari bendera merah putih yang telah menjadi identitas republik.
Dalam salah satu momen paling heroik, ia menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di hadapan Majelis Hakim Kolonial, membungkam ruang sidang dengan gema nasionalisme yang tak dapat dibungkam.
Simbolisme yang ia hadirkan bukan sekadar estetika busana atau retorika politik, melainkan bentuk perlawanan pasif yang menggugah dan meninggalkan jejak mendalam dalam narasi perjuangan bangsa.
Dalam diamnya pengadilan kolonial saat itu, terdengar suara lantang dari seorang pemuda Haruku yang tak pernah gentar menyuarakan kemerdekaan.
Babak baru dalam kehidupan Abdul Kadir Tuakia dimulai selepas Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Ketika Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (Apris) mendarat di Ambon pada 28 September 1950, udara di Maluku berembus dengan harapan baru.
Bersamaan dengan gelombang demiliterisasi dan transisi kekuasaan dari kolonial ke nasional, Tuakia dibebaskan dari tahanan.
Namun, perjuangannya belum usai.
Ia memilih tetap mengabdi kepada tanah air melalui jalur militer, kali ini dalam kerangka institusional TNI Angkatan Darat, tepatnya di korps polisi militer (CPM).
Dengan reputasi yang telah teruji dalam medan revolusi, Tuakia dipercaya memegang sejumlah jabatan strategis.
Ia menjabat sebagai komandan CPM di berbagai kota penting, antara lain Ambon, Ternate, Manado, dan Jember.
Pengabdiannya dalam tubuh militer bukan sekadar melanjutkan perjuangan bersenjata, tetapi juga menandai transformasi dirinya dari pejuang gerilya menjadi perwira negara yang mengawal supremasi hukum dan ketertiban di masa damai.
Di pundaknya, semangat republik tetap menyala, menjembatani masa lalu perjuangan dengan masa depan kemerdekaan yang lebih tertata.
Abdul Kadir Tuakia wafat pada 29 Mei 1979 dan dimakamkan secara khidmat di Taman Makam Pahlawan Jember, tempat bersemayamnya para penjaga republik.
Meskipun raganya telah tiada, semangatnya tetap menyala dalam sejarah bangsa.
Ia tak sekadar berjuang sesuai kemampuannya, tetapi melampaui batasnya, menolak tunduk, melawan tanpa gentar, dan meninggalkan warisan perjuangan yang hidup dalam ingatan kolektif kita.
Namanya kini bukan hanya bagian dari catatan sejarah, melainkan simbol keberanian, integritas, dan cinta sejati kepada tanah air. (Dhet)
Sumber: Youtube – QJP