Hari Pendidikan Nasional dan Ironi UTBK: Kecurangan Massif Akibat ‘Bencana Parenting’?

Prof. Dedi Prasetyo, Guru Besar UNISULA sekaligus Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara (Foto: Humas Polda Maluku)

BERITATERBERITA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seharusnya menjadi momen sakral.

Bukan sekadar perayaan seremonial tahunan, melainkan sebuah titik balik, ruang kontemplasi mendalam untuk merenungkan kembali arah moral dan martabat pendidikan kita sebagai sebuah bangsa.

Namun ironi kembali terulang, menampar kesadaran kita.

Tahun ini, gaung Hari Pendidikan Nasional nyaris tenggelam dan kehilangan makna.

Mengapa?

Oleh satu kenyataan pahit yang sangat mencemaskan: masifnya praktik kecurangan yang terjadi dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).

Fenomena kecurangan UTBK ini semakin mengiris hati jika melihat konteksnya.

Kecurangan tetap saja lolos dan marak terjadi, bahkan di tengah penerapan sistem pengamanan digital paling mutakhir yang telah disiapkan.

Mulai dari penggunaan biometrik untuk verifikasi identitas, pelacakan lokasi (geotracking), hingga pengacak soal yang kompleks.

Semua teknologi canggih itu seolah tak berdaya menghadapi praktik curang.

Dan yang lebih memilukan, banyak dari praktik kecurangan itu bukan karena kecerdikan luar biasa dari sisi siswa pesertanya.

Justru, tak sedikit yang terjadi karena adanya konspirasi diam-diam, bahkan inisiatif, dari pihak orang tua mereka sendiri.

Melihat fenomena ini, muncul pertanyaan fundamental yang menggantung di udara.

Apa yang sebenarnya sedang kita wariskan kepada generasi muda penerus bangsa ini.

Apakah nilai-nilai kejujuran dan integritas masih menjadi prioritas.

Ini bukan sekadar krisis akademik yang bisa diatasi dengan perbaikan sistem ujian.

Ini adalah gempa moral yang sesungguhnya, mengguncang dan merusak akar budaya pengasuhan (parenting culture) kita sebagai masyarakat.

Mengapa hal ini bisa terjadi.

Apa yang salah dengan cara kita mendidik anak-anak hari ini.

Ironi di Hari Pendidikan Nasional: Kecurangan UTBK yang Menggugat Moral

Di Hari Pendidikan Nasional tahun ini, seharusnya kita berhenti sejenak untuk berkontemplasi mengenai arah pendidikan yang kita inginkan.

Namun, perhatian justru tersita oleh isu yang sangat ironis: meluasnya praktik kecurangan dalam UTBK, seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

Ironi ini semakin terasa karena kecurangan terjadi di tengah sistem pengamanan digital yang sudah sangat mutakhir, melibatkan biometrik, pelacakan lokasi, dan pengacak soal.

Fakta yang paling memilukan adalah bahwa banyak kecurangan ini bukan murni inisiatif atau kecerdikan siswa, melainkan adanya konspirasi yang disadari, atau bahkan didukung diam-diam, oleh orang tua mereka.

Bencana Parenting Hari Ini: Obsesi Hasil Lupakan Karakter

Menurut Devie Rahmawati, seorang Associate Professor dari Program Vokasi UI, fenomena kecurangan masif ini berakar pada masalah mendasar dalam budaya pengasuhan modern.

“Budaya parenting kita hari ini adalah bencana,” tegas Devie Rahmawati dengan lantang, menggunakan kata yang kuat untuk menggambarkan kondisi tersebut.

Mengutip pemikiran peneliti Kay Hymowitz dari Institute for Family Studies, Devie menjelaskan bahwa orang tua modern saat ini seolah begitu terobsesi pada hasil akhir.

Fokus mereka hanya tertuju pada capaian-capaian yang terukur seperti ranking di kelas, perolehan gelar akademik, hingga lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit.

Dalam obsesi terhadap hasil ini, para orang tua seolah lupa, atau mungkin abai, bahwa pendidikan sejati itu jauh lebih luas.

Pendidikan sejati adalah tentang penanaman karakter dan kejujuran, bukan sekadar capaian akademis.

Akibatnya, anak-anak didorong mati-matian untuk sekadar menang dalam persaingan, bukan untuk menjadi benar dalam prosesnya.

Mereka diajarkan untuk menjadi cerdas secara kognitif, tapi dilupakan pentingnya untuk bersikap jujur dalam setiap tindakan.

Penelitian terbaru pun memperkuat pandangan ini.

Penelitian dari University of Southern Queensland pada tahun 2023 menunjukkan dampak nyata dari pola asuh yang hanya berorientasi pada hasil semata.

Pola asuh semacam ini dapat meningkatkan tingkat kecemasan pada remaja, mendorong perilaku manipulasi, dan bahkan membentuk fleksibilitas etika yang mengkhawatirkan.

“Ada korelasi kuat antara gaya pengasuhan permisif dan berkembangnya perilaku tidak jujur di kalangan remaja,” tambah Devie Rahmawati, yang juga merupakan penulis buku Communication Technology and Society: Exploring The Multicultural and Digital World.

Artinya, pola asuh yang serba membolehkan atau terlalu longgar tanpa penekanan pada nilai moral bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ketidakjujuran pada anak dan remaja.

Anak Belajar Bohong Pertama Bukan dari Medsos, Tapi Orang Tua

Devie Rahmawati juga menyoroti bahwa bencana budaya pengasuhan ini bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Indonesia.

Studi dari Pew Research Center pada tahun 2024 mencatat bahwa 77% orang tua di AS mengakui mereka membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan cara generasi orang tua mereka dibesarkan dulu.

Nilai-nilai luhur seperti kerja keras, rasa hormat terhadap orang lain, dan kejujuran, seolah mulai terkikis.

Nilai-nilai ini mulai digantikan oleh orientasi pada ambisi pribadi yang tinggi, kecepatan dalam meraih segala sesuatu (termasuk kesuksesan instan), dan fokus pada pencitraan diri di hadapan publik.

Lebih memprihatinkan lagi, studi yang sama menemukan bahwa lebih dari 60% orang tua di AS menyatakan bahwa anak-anak mereka kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih tidak jujur, kurang hormat, dan lebih malas jika dibandingkan dengan generasi orang tua mereka di usia yang sama dulu.

“Tsunami perubahan ini menghantam lintas benua. Dan gelombangnya dimulai dari rumah,” tegas Devie Rahmawati, yang juga dikenal sebagai peneliti Kecanduan Game Online.

Ini menunjukkan bahwa masalah penurunan nilai karakter dan kejujuran pada anak adalah isu global, dan titik awal masalahnya ada di lingkungan terdekat anak: keluarga atau rumah.

Dalam sebuah makalah berjudul Dishonesty: From Parents to Children yang diterbitkan pada tahun 2019, ditemukan sebuah fakta yang cukup mengejutkan.

Anak-anak mempelajari kebohongan pertama mereka bukan dari paparan media sosial atau dari pergaulan dengan teman sebaya.

Mereka justru belajar kebohongan pertama kali dari orang tua mereka sendiri.

Bayangkan situasi ketika seorang ayah mati-matian memaksa anaknya belajar keras siang malam demi lulus UTBK, tapi diam-diam justru membayar joki untuk menggantikan anaknya dalam ujian.

Atau ketika seorang ibu mengeluh anaknya tidak sopan kepada guru, padahal ia sendiri tanpa ragu memaki-maki guru di depan mata sang anak.

Dalam situasi-situasi seperti ini, nilai apa yang sebenarnya sedang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka.

Bukankah tindakan orang tua itu justru menjadi teladan nyata dari ketidakjujuran dan ketidak konsistenan.

Outsourcing Parenthood: Menyerahkan Empati dan Nilai pada Aplikasi

Devie Rahmawati juga menyentil fenomena lain dalam pengasuhan modern.

Mengutip riset berjudul ‘Outsourcing Parenthood?’ dari Wisconsin School of Business, ia mengatakan bahwa orang tua hari ini tidak hanya ‘meng-outsourcing’ atau menyerahkan sebagian besar waktu pengasuhan anak kepada pihak lain di luar keluarga inti.

Lebih jauh, mereka juga ‘meng-outsourcing’ hal-hal yang fundamental dalam pembentukan karakter anak.

Termasuk di dalamnya adalah outsourcing empati, penanaman nilai-nilai moral, dan bahkan tanggung jawab pengasuhan itu sendiri.

Orang tua hari ini, kata Devie, seolah bertindak seperti seorang CEO perusahaan yang mendelegasikan seluruh fungsi inti pengasuhan anak kepada pihak ketiga.

Pihak ketiga ini bisa berupa aplikasi pendidikan di gawai anak, guru les privat untuk semua mata pelajaran, hingga konsultan-konsultan anak yang diyakini lebih tahu cara mendidik.

Padahal, empati, nilai, dan tanggung jawab hanya bisa ditanamkan melalui interaksi langsung, teladan, dan kehadiran fisik serta emosional orang tua dalam kehidupan sehari-hari anak.

Ada Cahaya Kecil: SMA Kemala Taruna Bhayangkara Pilih Jalan Berbeda

Namun, di tengah kegaduhan moral yang mengkhawatirkan ini, masih ada secercah cahaya kecil yang memberikan harapan.

Ada lembaga pendidikan yang memilih arah yang berbeda dalam proses seleksi dan pembentukan siswa mereka.

Salah satunya adalah SMA Kemala Taruna Bhayangkara. Sekolah ini melihat proses pendidikan bukan hanya dari sisi akademis semata.

“Kami tidak hanya menilai kemampuan akademik siswa,” ujar Prof. Dedi Prasetyo, yang merupakan Guru Besar UNISULA sekaligus Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara.

Beliau menambahkan, yang juga menjadi fokus penilaian dalam proses seleksi masuk sekolah ini adalah komitmen keluarga siswa terhadap pendidikan karakter.

Mengapa komitmen keluarga menjadi penting?

“Karena kami percaya: anak bukan dibentuk oleh sekolah saja, tetapi oleh ekosistem rumah,” tegas Prof. Dedi.

Lingkungan rumah, termasuk pola asuh orang tua, memiliki peran yang sama penting, bahkan mungkin lebih fundamental, dalam membentuk karakter anak dibandingkan lingkungan sekolah semata.

Wawancara Orang Tua: Kunci Seleksi Masuk, Cari Mitra Bukan Penonton

Salah satu elemen kunci yang unik dan penting dalam proses seleksi masuk di SMA Kemala Taruna Bhayangkara adalah adanya sesi wawancara khusus dengan orang tua calon siswa.

Ini bukan sekadar formalitas belaka. “Ini bukan formalitas,” tegas Prof.

Dedi Prasetyo, yang juga menjabat sebagai Irwasum Polri, menekankan keseriusan sesi wawancara orang tua ini.

Tujuan utama dari wawancara ini adalah untuk menggali lebih dalam nilai-nilai apa saja yang hidup dan dianut dalam keluarga calon siswa.

Selain itu, pihak sekolah juga ingin mengetahui seberapa siap orang tua untuk menjadi mitra aktif sekolah dalam proses pendidikan anak.

Sekolah mencari orang tua yang siap berkolaborasi, bukan hanya menjadi penonton di tribun yang menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah.

Temuan ini sejalan dengan riset-riset lain yang sudah ada.

Riset dari Edutopia pada tahun 2023 dan Ramagya School pada tahun 2024 menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua secara aktif dalam proses pendidikan anak, terutama melalui bentuk wawancara keluarga atau sesi diskusi, dapat memberikan dampak positif yang signifikan.

Keterlibatan ini dapat meningkatkan keadilan dalam proses pendidikan, meningkatkan pemahaman lintas budaya antara sekolah dan keluarga, serta berkontribusi pada keberhasilan akademik anak dalam jangka panjang.

Pendidikan Sejati Tumbuh dari Rumah, Bukan Hanya Sekolah

Prof. Dedi Prasetyo kembali menegaskan pandangan fundamental mengenai esensi pendidikan.

“Sekolah bukan tempat penitipan anak. Pendidikan tidak bisa berjalan satu arah,” tegasnya.

Sekolah adalah salah satu pilar pendidikan, tetapi pilar utamanya tetaplah keluarga.

Karakter, kejujuran, dan integritas tidak bisa hanya diajarkan melalui materi pelajaran di kelas atau soal-soal latihan ujian (try out).

Karakter tumbuh dan terbentuk justru melalui teladan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari di rumah.

Setiap tindakan, ucapan, dan sikap orang tua adalah pelajaran karakter yang paling efektif bagi anak.

Refleksi Hardiknas: Membesarkan Pembelajar Sejati atau Pemalsu Sukses?

Maka, pada momentum Hari Pendidikan Nasional ini, kita semua perlu berhenti sejenak.

Mari kita bertanya pada diri sendiri dengan jujur, refleksi mendalam: apakah kita sedang membesarkan generasi pembelajar sejati yang mencintai proses, kejujuran, dan ilmu itu sendiri.

Atau, justru tanpa sadar kita sedang membesarkan generasi pemalsu sukses, yang hanya berorientasi pada hasil instan, status, dan rela menghalalkan segala cara demi terlihat berhasil di permukaan.

Pilihan ada di tangan kita, dimulai dari rumah kita masing-masing.

“Pendidikan sejati bukan dimulai dari skor ujian semata. Ia tumbuh dari meja makan yang penuh diskusi, dari pelukan yang memberi rasa aman, dan dari keberanian untuk mengakui—bahwa gagal itu manusiawi, dan curang itu tidak,” tutup Prof. Dedi, memberikan pesan penutup yang sangat kuat.

Ia mengingatkan bahwa masa depan Indonesia yang sesungguhnya tidak akan ditentukan oleh algoritma seleksi perguruan tinggi, secanggih apapun itu. (Dhet)

Rekomendasi