Fenomena Dedi Mulyadi: Dicibir Elite, Dipuja Rakyat Jelata, Ada Apa di Baliknya? Simak Analisis Ade Armando!

Ade Armando

Bahkan, di media sosial muncul dorongan agar Dedi Mulyadi “ditangkap” dan dikirim ke berbagai provinsi yang membutuhkan pemimpin yang responsif.

Ade Armando menceritakan adanya video seorang ibu yang meminta Kapolri untuk menangkap Dedi Mulyadi dan mengirimkannya ke Aceh, karena daerah tersebut membutuhkan pemimpin seperti dirinya.

Tak hanya itu, ada pula video dari warga Jawa Timur yang membandingkan kinerja Gubernur Khofifah dengan Dedi Mulyadi.

Dalam video tersebut, ketika Gubernur Khofifah membacakan pantun, muncul komentar dari warganet yang menyatakan bahwa jika gubernur hanya bisa berpantun, maka warga Jawa Timur akan memilih pindah ke Jawa Barat.

Fenomena serupa juga terjadi di Jakarta, di mana seorang pria dalam videonya awalnya menegur Dedi Mulyadi yang turun langsung membersihkan sampah di sungai, namun kemudian membandingkannya dengan gubernur Jakarta yang disebut hanya memantau dari helikopter, atau wakil gubernur yang menggunakan perahu karet saat banjir sepaha.

Menurut Ade Armando, meskipun ia menghargai kinerja Bu Khofifah dan Mas Pramono, gaya kepemimpinan mereka berbeda dengan Dedi Mulyadi, dan masyarakat tampaknya lebih tertarik dengan gaya Dedi Mulyadi selama memimpin di Jawa Barat.

Hal ini juga terlihat dalam konflik antara Dedi Mulyadi dan PDIP di Jawa Barat, di mana para kader partai tersebut merasa marah karena Dedi Mulyadi dianggap bergerak terlalu cepat tanpa koordinasi dengan DPRD.

Contohnya, Dedi Mulyadi dianggap sepihak memangkas anggaran Rp1,7 triliun menjadi Rp500 miliar untuk direalokasikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan.

Dedi Mulyadi juga melakukan pembongkaran bangunan liar di pinggir sungai dan tempat wisata bermasalah tanpa berkonsultasi dengan DPRD.

Konfrontasi dengan Elite, Dukungan Solid dari Akar Rumput

Akibat tindakan-tindakan Dedi Mulyadi tersebut, fraksi PDIP melakukan aksi walkout dalam rapat DPRD dengan Gubernur.

Namun, yang menarik adalah rakyat justru memberikan dukungan penuh kepada Dedi Mulyadi.

Dalam video-video yang mereka sebarkan, masyarakat bahkan menyatakan siap membela Dedi Mulyadi dari konfrontasi dengan anggota PDIP.

Ade Armando melihat hal ini sebagai indikasi bahwa masyarakat sudah jenuh dengan para pejabat politik, wakil rakyat, dan pelaku politik yang dianggap hanya retorika tanpa benar-benar turun dan melayani rakyat.

Para petinggi politik dinilai terlalu elitis dan jauh dari реальность kehidupan masyarakat.

Inilah yang didobrak oleh Dedi Mulyadi. Menurut Ade Armando, Dedi Mulyadi berpendapat bahwa jika ia harus selalu berkonsultasi dengan DPRD sebelum bertindak, maka ia akan kehilangan banyak waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk melayani rakyat.

Dedi Mulyadi menganggap proses konsultasi dengan DPRD seringkali bertele-tele dan kemungkinan besar akan berakhir dengan kegagalan.

Ia yakin bahwa para anggota DPRD akan selalu mempertimbangkan dampak dari tindakan tegasnya terhadap kepentingan para pendukung mereka, yang dalam hal ini bukan rakyat biasa, melainkan para pemilik modal atau “bohir”.

Oleh karena itu, Dedi Mulyadi yakin bahwa rencana-rencana tegasnya untuk kepentingan rakyat akan sulit terealisasi jika selalu terganjal birokrasi politik.

Ade Armando menggambarkan Dedi Mulyadi sebagai pemimpin yang tidak menyukai birokrasi politik yang rumit dan cenderung mengambil jalan pintas.

Dari latar belakang politik yang kaya, pernah menjadi anggota DPRD, Wakil Bupati Purwakarta, Bupati Purwakarta, dan anggota DPR, Dedi Mulyadi sangat memahami seluk-beluk dunia politik Indonesia yang menurutnya penuh dengan praktik korupsi yang saling melindungi.

Ketika melihat peluang untuk segera memberikan manfaat kepada rakyat, Dedi Mulyadi tidak ragu untuk bertindak cepat, meskipun hal ini membuatnya terlihat seperti pemimpin yang otoriter.

Dedi Mulyadi menyadari citra tersebut, namun ia tampaknya tidak terlalu peduli dengan label yang diberikan kepadanya.

Yang terpenting baginya adalah melakukan tindakan nyata untuk rakyat yang selama ini dianggap hanya menjadi objek eksploitasi.

Keyakinan Diri yang Kuat dan Gaya Kepemimpinan “Top-Down”

Dedi Mulyadi memiliki keyakinan yang kuat pada dirinya sendiri, atau yang disebut sebagai locus of control internal.

Ia yakin bahwa dirinya mampu mengubah keadaan tanpa terlalu terpengaruh oleh tekanan dari luar. Ia proaktif, tegas, dan berani mengambil risiko, menjadikannya agen perubahan yang diperlukan mengingat sistem yang korup di Indonesia.

Untuk membela rakyat, Dedi Mulyadi merasa perlu melakukan gebrakan-gebrakan dan bersikap konfrontatif terhadap sistem yang ada, meskipun ia menyadari akan menghadapi banyak perlawanan dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh sistem tersebut.

Ade Armando yakin bahwa Dedi Mulyadi siap menerima kritik dan makian demi kepentingan rakyat.

Gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang berani menerabas dan mengambil jalan cepat, menurut Ade Armando, adalah cara baginya untuk tetap berjalan sesuai dengan idealisme dan nilai-nilai moralnya.

Majalah Tempo pernah menyebut Dedi Mulyadi sebagai pemimpin populis yang kebijakannya hanya terlihat indah di permukaan dan bersifat sementara.

Namun, bagi Dedi Mulyadi, kritikan semacam itu tidak terlalu berarti.

Ia sering kali menantang para pengkritiknya untuk menawarkan solusi alternatif jika mereka tidak setuju dengan kebijakan yang ia ambil.

Contohnya, terkait kebijakan mengirimkan anak-anak nakal ke barak militer untuk belajar disiplin, Dedi Mulyadi mempertanyakan solusi apa yang ditawarkan para pengkritik untuk mengatasi masalah kenakalan remaja.

Contoh lain adalah kebijakan Dedi Mulyadi yang mewajibkan vasektomi bagi pria yang ingin menerima bantuan sosial.

Kebijakan ini menuai kritik karena dianggap melanggar hak reproduksi.

Namun, Dedi Mulyadi kembali bertanya, solusi apa yang para pengkritik tawarkan agar keluarga dengan tingkat ekonomi rendah tidak memiliki banyak anak yang akan membebani kehidupan mereka dan masyarakat secara luas.

Dedi Mulyadi tidak menolak masukan, tetapi ia tidak ingin terjebak dalam diskusi tanpa akhir sebelum mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan masyarakat.

Baginya, kepentingan rakyat sudah terlalu lama terabaikan.

Kecenderungan Otoriter Demi Ketertiban dan Disiplin?

Dedi Mulyadi menyadari bahwa ia didukung oleh jutaan rakyat Jawa Barat untuk menjadi gubernur, dan ia merasa berhutang budi kepada mereka.

Dalam hal ini, Dedi Mulyadi memang terlihat sebagai pemimpin yang kurang demokratis, dengan kecenderungan menerapkan kebijakan top-down daripada bottom-up.

Ia sangat percaya pada pentingnya kontrol dan aturan yang ketat dibandingkan peraturan yang fleksibel.

Ade Armando menduga bahwa Dedi Mulyadi melihat banyak masalah sosial di Indonesia disebabkan oleh lemahnya pengendalian dan pengawasan.

Ade Armando mengakui bahwa Dedi Mulyadi mungkin memiliki bias kognitif, merasa sudah memiliki jawaban atas berbagai persoalan, sehingga cenderung melakukan generalisasi berlebihan, seperti membongkar bangunan tanpa izin tanpa mempertimbangkan kompleksitas sosialnya.

Orang dengan kepribadian otoriter seperti Dedi Mulyadi memang cenderung menghargai ketertiban, disiplin, dan konformitas, serta kurang toleran terhadap penyimpangan.

Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah hal ini buruk bagi masyarakat?

Setidaknya, melihat besarnya dukungan rakyat terhadap Dedi Mulyadi, langkah-langkah yang dianggap otoriter tersebut justru dilihat sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat.

Ade Armando menyimpulkan bahwa meskipun Dedi Mulyadi perlu terus diawasi, langkah-langkah penertiban, pendisiplinan, dan pembersihan yang ia lakukan patut didukung demi Indonesia yang lebih baik. (Dirto)

Halaman: 1 2 3Show All
Rekomendasi