
Bagaimana mungkin teknologi terus berkembang pesat, namun kondisi lingkungan justru semakin memprihatinkan?
Jawaban sederhananya, seperti diungkapkan dalam narasi ini, adalah karena tingkat kerusakan yang kita lakukan jauh lebih besar dibandingkan upaya pemulihan.
Aktivitas pertambangan masih terus menggali bumi, hutan terus menerus ditebang tanpa henti, dan polusi udara serta air tak pernah berhenti diproduksi.
Kondisi ini diibaratkan sebuah botol yang penuh dengan lubang, namun kita hanya menambal satu lubang saja, bahkan ada lubang yang semakin membesar.
Selain itu, proses pengembangan teknologi ramah lingkungan pun ternyata dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, dalam pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, kita membutuhkan logam nikel yang memaksa pembukaan lahan tambang secara besar-besaran.
Dalam kurun waktu singkat, puluhan ribu hektar hutan telah diratakan, setara dengan ratusan lapangan bola.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh hewan dan tumbuhan, tetapi juga oleh manusia.
Di daerah yang menjadi pusat pertambangan nikel, banyak pekerja dan warga sekitar yang menderita infeksi pernapasan akibat udara yang tercemar zat beracun, rumah-rumah terendam banjir lumpur merah, bahkan terjadi ledakan yang menelan belasan korban jiwa.
Paradoks Teknologi Hijau dan Kerugian Negara
Mirisnya, meskipun masyarakat terkena dampak buruk dari aktivitas pertambangan, keuntungan yang didapatkan negara seringkali tidak sebanding.
Justru, banyak keuntungan yang malah dinikmati oleh negara lain.
Lantas, bagaimana seharusnya kita bertindak?
Tentu saja, kita bisa melakukan kegiatan ekonomi yang lebih hijau dan adil.
Namun, tidak hanya itu, kita juga perlu memiliki kedaulatan yang lebih besar atas sumber daya alam yang kita miliki.
Jika kita sendiri yang mengelola, kita akan mampu mengendalikan kegiatan ekonomi agar tidak merusak lingkungan secara masif.
Sebagai contoh, dibandingkan dengan mengorbankan seluruh hutan sekaligus, kita bisa memanfaatkan hutan secara lebih bijaksana dan seimbang.
Konsep-konsep canggih seperti ini sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat adat, misalnya di Papua.
Bahkan, ada lembaga riset yang menyatakan bahwa potensi ekonomi semacam ini di Indonesia sangat besar dan jika berhasil diterapkan, akan membuka banyak lapangan kerja baru.
Lalu, mengapa hal ini belum dilakukan secara luas?
Pertanyaan ini dijawab dengan merujuk pada cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Sejak kemerdekaan, para pendiri bangsa telah memiliki visi untuk menjadikan Indonesia mandiri dan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu membangun proyek-proyek besar yang tidak kalah dengan negara-negara maju lainnya.
Generasi muda diberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga ke luar negeri untuk menggali ilmu pengetahuan yang kemudian akan digunakan untuk membangun tanah air.
Semua gagasan dan pengetahuan ini dikumpulkan di Gedung Pola, yang menjadi pusat perencanaan pembangunan nasional.
Berbagai konsep dipamerkan dan masyarakat bisa memberikan kritik serta ide untuk pembangunan negara.
Mewujudkan Mimpi Kemerdekaan dan Tantangan Masa Kini
Sebagian dari hasil perencanaan di Gedung Pola pada masa lalu dapat kita lihat hari ini, meskipun mungkin kita anggapnya sebagai pemandangan biasa.
Namun, pada zamannya, teknologi-teknologi tersebut adalah sebuah keajaiban.
Ketua Harian Yayasan Bung Karno, Sigit Lingga, menjelaskan bahwa Gedung Pola dulunya adalah tempat dibentuk dan direncanakannya cetak biru pembangunan nasional Indonesia.
Keistimewaan gedung ini adalah lokasinya yang berada di atas tanah proklamasi, yang dulunya merupakan kediaman Ir. Soekarno.
Pembangunan Gedung Pola dan Tugu Petir pada tahun 1961 bertujuan untuk memulai pembangunan modern Indonesia sesuai amanat proklamasi kemerdekaan.
Gedung ini menjadi pusat imajinasi dan perencanaan di segala aspek pembangunan Indonesia.
Dahulu, seluruh gagasan dan perencanaan proyek-proyek nasional dipamerkan di sini.
Gedung Pola menjadi saksi bisu bahwa Indonesia pernah memiliki ide-ide besar untuk pembangunan bangsa.
Namun, Indonesia saat ini masih dalam proses panjang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Gedung Pola diharapkan dapat kembali menjadi tempat berkumpulnya para pemikir dan teknokrat untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa di berbagai bidang, menjawab tantangan zaman.
Mimpi untuk menjadi negara yang adil, maju, dan berdaulat harus terus diperjuangkan demi masa depan Indonesia yang lebih baik. (Asep)