Malam Satu Suro: Antara Mitos Pasukan Gaib, Larangan Kuno, dan Jejak Sejarah Sultan Agung

Satu malam penuh cerita dan kepercayaan

BERITATERBERITA – Malam Satu Suro, sebuah penanda penting dalam kalender Jawa, seringkali menghadirkan aura mistis yang kental di benak masyarakat. Berbagai pantangan dan cerita turun-temurun seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari malam yang dianggap sakral ini. Namun, tahukah Anda bahwa di balik selubung misteri tersebut, tersembunyi akar sejarah dan budaya yang kaya?

Menurut seorang budayawan asal Solo, Tunjung W. Sutirto, tradisi Malam Satu Suro memiliki kaitan erat dengan masa pemerintahan Sultan Agung pada abad ke-17. Kala itu, sang raja memiliki gagasan besar untuk menyatukan sistem penanggalan yang berbeda, yaitu kalender Hijriah yang digunakan oleh umat Islam dengan sistem penanggalan Jawa yang telah ada sebelumnya.

“Tradisi Satu Suro itu terkait peristiwa tahun 1633. Saat itu, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa untuk menyelaraskan budaya Hindu Jawa dan Islam,” jelas Tunjung dalam wawancaranya dengan Kompas.com pada Senin, 23 Juni 2025. Langkah visioner ini bertujuan untuk menciptakan persatuan dan keselarasan dalam kehidupan beragama dan berbudaya di tanah Jawa.

Lahirnya Kalender Jawa dan Makna di Balik Nama Suro

Kalender Jawa yang dimulai pada tanggal 1 Suro secara sengaja diselaraskan dengan tanggal 1 Muharam dalam kalender Islam. Pada tahun 2025 ini, tanggal 1 Suro atau 1 Muharam akan bertepatan dengan hari Jumat, 27 Juni 2025, sehingga Malam Satu Suro akan jatuh pada malam Kamis, 26 Juni 2025.

Sultan Agung memilih nama Suro untuk bulan pertama dalam kalender Jawa ini. Pemilihan nama tersebut bukan tanpa alasan, melainkan diambil dari kata Asyura, yang merujuk pada tanggal 10 Muharam dalam kalender Islam. Tanggal 10 Muharam dipercaya sebagai hari yang penuh dengan berbagai peristiwa besar dan keajaiban, seperti selamatnya Nabi Musa dari kejaran Raja Firaun di Laut Merah dan berlabuhnya kapal Nabi Nuh setelah banjir besar.

“Karena banyak peristiwa besar di 10 Muharam, maka diadopsi dalam budaya Jawa. Dari sanalah muncul tradisi-tradisi seperti jenang suran dan kirab pusaka di keraton,” imbuh Tunjung, menjelaskan lebih lanjut mengenai keterkaitan antara tradisi Jawa dan nilai-nilai Islam.

Asal-Usul Mitos dan Kepercayaan Mistis Malam Satu Suro

Seiring berjalannya waktu, Malam Satu Suro tidak hanya diwarnai oleh nilai-nilai sejarah dan budaya, tetapi juga diiringi oleh berbagai mitos dan cerita mistis yang berkembang di tengah masyarakat. Mitos-mitos ini kemudian membentuk berbagai larangan dan kepercayaan yang diyakini hingga kini.

Salah satu mitos yang paling populer adalah kepercayaan tentang adanya pasukan Nyai Roro Kidul dari Laut Selatan yang melakukan perjalanan menuju keraton pada malam Satu Suro. Konon, untuk menghindari gangguan atau energi negatif dari pasukan tersebut, muncul larangan bagi orang-orang dengan weton tertentu, seperti Senin Kliwon, Rabu Wage, atau Sabtu Legi, untuk keluar rumah pada malam itu. Mereka diyakini rentan menjadi sasaran makhluk gaib yang dikenal dengan sebutan “lampor”.

“Itu disebut lampor, suaranya seperti angin yang kencang dan sebagainya, harapannya masyarakat berdiam diri di dalam rumah supaya tidak terkena aura negatif dari pasukan Kanjeng Ratu Kidul yang ke keraton,” terang Tunjung mengenai salah satu mitos yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.

Namun, Tunjung menjelaskan bahwa mitos-mitos semacam itu lebih banyak berkembang di masyarakat pada masa lalu ketika akses informasi dan komunikasi masih terbatas. Keterbatasan interaksi antar wilayah dan kuatnya ikatan tradisi lokal membuat kepercayaan-kepercayaan tersebut sulit untuk diuji kebenarannya.

“Kebudayaan tidak stagnan, dulu desa masih terisolasi oleh komunikasi dan transportasi, masih terisolasi ikatan geografis, jadi masih terikat kebudayaan yang diyakini kepada kebenaran pada masanya,” kata Tunjung, memberikan perspektif sosiologis terhadap fenomena tersebut.

Lebih lanjut, Tunjung menyampaikan bahwa seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi, banyak mitos yang mulai luntur kepercayaannya di kalangan masyarakat. Meskipun masih ada sebagian kecil masyarakat yang tetap fanatik terhadap kepercayaan tersebut, namun hal itu tidak lagi menjadi fenomena yang umum.

“Ketika masyarakat sudah berkembang di era digital, ya kebudayaan itu sudah tidak lagi diyakini. (Masyarakat) yang masih fanatik terhadap itu tetap ada, tapi tidak menjadi suatu gejala yang umum,” pungkasnya, menandakan adanya pergeseran nilai dan kepercayaan seiring dengan perkembangan zaman. (RED)

Rekomendasi