Kisah Hawa dalam Kristen, Yahudi, dan Islam: Perbedaan Mencolok yang Jarang Diketahui

Menelusuri Kisah Adam dan Hawa dalam Tiga Perspektif Agama (Foto: Tangkap Layar Youtube/Belajar Mitologi)

Hawa, satu tokoh, banyak versi

BERITATERBERITA – Kisah tentang manusia pertama, Adam, dan pasangannya, Hawa, merupakan narasi fundamental dalam agama-agama Abrahamik.

Ketiga agama monoteistik besar ini  Yahudi, Kristen, dan Islam  memiliki kisah serupa tentang asal-usul manusia.

Walaupun detailnya berbeda, inti ceritanya berkisar pada pasangan pertama yang hidup di surga dan kemudian terusir akibat memakan buah terlarang.

Dalam Islam, Hawa dikenal dengan nama yang sama, sementara dalam tradisi Kristen dan Yahudi disebut Eve.

Namun, benarkah peran dan cerita Hawa selalu sama di setiap agama tersebut?

Pada kenyataannya, terdapat perbedaan signifikan dalam rincian kisah Hawa di ketiga tradisi tersebut.

Misalnya, tradisi mana yang pertama kali menceritakan tentang Lilith?

Bagaimana konsep dosa dipahami dalam setiap kisah Adam dan Hawa?

Kisah ini sangat populer dan seringkali menjadi subjek seni serta diskusi budaya.

Setiap agama memiliki sudut pandang dan interpretasi yang unik terhadap narasi ini.

Dalam artikel ini, kita akan mengupas tiga versi berbeda tentang Hawa dalam tradisi Kristen, Yahudi, dan Islam.

Setiap versi akan dijelaskan secara naratif, diikuti dengan perbandingan perbedaannya.

Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat melihat bagaimana kisah Hawa telah menginspirasi pandangan yang beragam tentang peran perempuan dalam budaya dan agama.

Mari kita mulai dengan melihat versi Kristen.

Hawa dalam Perspektif Kristen: Dosa Asal dan Penebusan

Dalam tradisi Kristen, kisah Adam dan Hawa terdapat dalam Kitab Kejadian di Perjanjian Lama.

Menurut narasi Alkitab, Allah pertama-tama menciptakan Adam dari debu tanah.

Kemudian, Allah membentuk seorang wanita dari salah satu tulang rusuk Adam.

Tujuannya adalah untuk menjadi penolong dan teman hidupnya.

Hawa seringkali disebut sebagai ibu dari semua yang hidup.

Hal ini karena dari pasangan inilah manusia dipercaya berkembang biak.

Awalnya, Adam dan Hawa hidup tanpa dosa di Taman Eden.

Mereka tidak merasa malu akan keadaan telanjang mereka.

Allah memberikan satu perintah utama kepada mereka.

Perintahnya adalah jangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Namun, seekor ular, yang sering diidentikkan dengan Iblis, membujuk Hawa untuk melanggar perintah tersebut.

Ular itu meyakinkan Hawa bahwa memakan buah itu akan membuatnya setara dengan Allah.

Hawa tergoda dan akhirnya memakan buah terlarang itu.

Kemudian, Hawa juga memberikan buah tersebut kepada Adam.

Akibatnya, mata mereka terbuka.

Mereka mulai memahami perbedaan antara yang baik dan yang jahat.

Mereka pun mulai merasa malu karena ketelanjangan mereka.

Mereka lantas menutupi diri dengan daun-daun ara.

Allah kemudian mengusir Adam dan Hawa dari surga.

Pengusiran ini adalah hukuman atas ketidaktaatan mereka.

Dalam narasi ini, Allah mengutuk ular atas perbuatannya.

Allah juga memberikan konsekuensi kepada Hawa dan Adam.

Hawa akan merasakan sakit yang hebat saat melahirkan.

Adam harus bekerja keras membajak tanah untuk mencari nafkah.

Peristiwa ketidaktaatan Adam dan Hawa ini dikenal dalam ajaran Kristen sebagai Dosa Asal.

Doktrin ini menyatakan bahwa karena perbuatan pertama ini, semua keturunan Adam dan Hawa lahir dalam keadaan berdosa.

Jadi, dalam teologi Kristen, ketidaktaatan Adam dan Hawa membawa kecacatan moral.

Kecacatan ini diwariskan kepada seluruh umat manusia.

Dasar biblis untuk doktrin ini ditemukan dalam Kejadian pasal 3.

Selain itu, juga dalam bagian lain seperti Mazmur pasal 51 ayat 5 dan surat-surat Rasul Paulus, misalnya Roma pasal 5 ayat 12.

Doktrin Dosa Asal sendiri diformulasikan oleh teolog awal seperti Santo Augustinus pada abad keempat.

Sebagai akibatnya, ajaran Kristen menekankan perlunya penebusan melalui Kristus.

Penebusan ini bertujuan agar dosa umat manusia dapat dihapus.

Bahkan dalam tradisi Katolik, Hawa sering dibandingkan dengan Maria.

Maria disebut sebagai Hawa baru.

Ia menebus kesalahan Hawa melalui kelahiran Yesus yang tanpa dosa.

Di luar konteks ibadah, kisah ini juga memberikan banyak bahan renungan.

Ketika Adam ditanya mengapa ia memakan buah terlarang, ia menjawab, “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi buah itu kepadaku, maka kumakan.”

Dan ketika Hawa ditanya, ia menjawab, “Ular membujuk aku, maka kumakan.”

Kita melihat contoh bagaimana manusia terkadang mencari kambing hitam atas kesalahan mereka.

Banyak sarjana menafsirkan cerita ini secara alegoris.

Ular bisa dilihat sebagai simbol godaan.

Pohon pengetahuan sebagai lambang tanggung jawab moral.

Meskipun zaman telah berubah, kisah Adam dan Hawa tetap dianggap kaya makna.

Kisah ini berbicara tentang ketidaktahuan manusia yang berubah menjadi kesadaran.

Juga tentang kebutuhan moral akan aturan dalam kehidupan.

Tradisi Yahudi: Fokus pada Pilihan Moral dan Legenda Lilith

Dalam tradisi Yahudi, kisah Adam dan Hawa juga terdapat dalam Kitab Kejadian (Bereshit).

Inti narasinya sama dengan versi Kristen.

Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam untuk menjadi pasangannya.

Keduanya tinggal di Taman Eden dengan perintah yang sama tentang pohon terlarang.

Namun, sangat penting untuk dicatat bahwa Yudaisme klasik tidak mengenal konsep Dosa Asal seperti dalam doktrin Kristen.

Tradisi Yahudi menekankan bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas dosanya sendiri.

Bukan atas kesalahan leluhur.

Dengan kata lain, kisah Adam dan Hawa dipahami sebagai momen pilihan moral.

Bukan warisan dosa bagi anak cucu mereka.

Dalam sastra Rabinik, seperti Midrash dan Talmud, muncul legenda tambahan tentang Lilith.

Legenda ini tidak ditemukan dalam teks Alkitab.

Lilith digambarkan sebagai istri pertama Adam.

Ia dibuat dari tanah liat yang sama seperti Adam.

Lilith menolak untuk tunduk kepada Adam.

Ia merasa setara dengannya karena diciptakan dengan cara yang sama.

Lilith meninggalkan Adam dan tidak mau kembali ke Taman Eden.

Setelah Lilith pergi, barulah Hawa diciptakan sebagai pendamping Adam.

Penting untuk dicatat bahwa kisah Lilith ini tidak disebut dalam teks kitab suci asli Tanakh.

Namanya baru muncul dalam literatur rabinik dan mitologi Yahudi pasca-biblikal.

Bahkan beberapa cendekiawan Yahudi ternama seperti Maimonides (Rambam) menolak eksistensi Lilith.

Mereka menganggapnya sebagai mitos belaka.

Dengan demikian, dalam praktik keagamaan Yahudi, versi kanonik hanya mengenal Hawa sebagai istri pertama dan ibu manusia.

Cerita Hawa lebih banyak digunakan untuk memberi pelajaran moral.

Misalnya, tentang tanggung jawab individu dan kemitraan suami istri.

Sebagai contoh, ayat seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (Kejadian pasal 2 ayat 24) dibacakan dalam upacara pernikahan Yahudi.

Tujuannya adalah untuk menegaskan pentingnya keluarga baru.

Ayat ini tidak menyoroti dosa.

Sebagai kesimpulan, versi Yahudi Alkitab hanya mengenal Hawa dan menekankan kerja sama pasangan.

Sementara Lilith hanyalah bagian dari folklore yang tidak dijadikan dasar doktrin.

Islam: Kesetaraan, Pengampunan, dan Tanggung Jawab Pribadi

Dalam tradisi Islam, Hawa (bahasa Arab: حواء) diakui sebagai pasangan Adam.

Ia juga dikenal sebagai Ummul Basyar (أُمّ ٱلْبَشَر), yang berarti ibu umat manusia.

Namun, namanya tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an, ia hanya disebut sebagai istri Adam.

Para ulama menyatakan bahwa istri tersebut adalah Hawa.

Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari satu jiwa yang sama.

Misalnya, Surah An-Nisa’ (4:1) menyebutkan, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.”

Hal ini menandakan bahwa Adam dan Hawa lahir dari hakikat yang setara, sebagai satu kesatuan.

Kisah dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa Adam dan Hawa hidup di surga.

Keduanya sama-sama tergoda oleh godaan iblis (Syaithan).

Iblis ditampilkan sebagai makhluk yang sombong dan ingkar.

Bukan sebagai sosok ular.

Godaan iblis adalah untuk memakan buah dari pohon terlarang.

Ketika keduanya memakan buah itu, Al-Qur’an menggambarkan bahwa mereka segera menyadari kesalahan mereka.

Mereka kemudian segera memohon ampun kepada Allah SWT.

Allah SWT Maha Pengampun.

Karena itu, Allah memaafkan Adam dan Hawa.

Allah tidak mewariskan dosa kepada anak keturunan mereka.

Dengan kata lain, dalam Islam tidak ada konsep Dosa Asal.

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci, tanpa dosa bawaan).

Setiap individu hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

Pandangan ini menekankan keadilan dan kesetaraan gender.

Hawa dihormati sebagai ibu umat manusia.

Ia tidak dianggap sebagai sumber dosa.

Konteks Islam memperlihatkan cerita ini sebagai pelajaran tentang pengampunan dan tanggung jawab bersama.

Setelah peristiwa di surga, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi.

Mereka dipercaya memiliki anak, termasuk Qabil dan Habil (mirip Kain dan Habel dalam tradisi lain).

Meskipun Al-Qur’an tidak memberikan banyak detail tentang kehidupan mereka selanjutnya, fokus utama tetap pada bagaimana mereka kembali kepada Allah dengan taubat.

Hal ini mengajarkan bahwa manusia selalu memiliki peluang untuk dimaafkan dan memperbaiki diri.

Perbedaan Pokok dalam Tiga Versi Kisah Hawa

Secara ringkas, beberapa perbedaan pokok dari ketiga versi cerita Hawa tersebut adalah:

Satu, penciptaan.

Dalam tradisi Kristen dan versi Yahudi dari Kitab Kejadian, Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam.

Sebaliknya, Islam menyebutkan bahwa Allah menciptakan Adam dan Hawa dari satu jiwa yang sama.

Tradisi rabinik Yahudi bahkan memiliki legenda tambahan tentang Lilith.

Lilith sebagai istri pertama Adam sebelum Hawa.

Namun, Lilith tidak disebut dalam teks kitab suci manapun.

Dua, penyebab dosa.

Dalam versi Kristen, Hawa dibujuk oleh ular untuk memakan buah terlarang.

Hal ini menyebabkan keduanya jatuh dalam dosa dan menurunkan Dosa Asal kepada keturunan mereka.

Dalam tradisi Yahudi Alkitab, ceritanya sama.

Tetapi tanpa doktrin warisan dosa.

Karena setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

Dalam Islam, Adam dan Hawa sama-sama tergoda oleh godaan iblis.

Kemudian keduanya bertobat dan diampuni oleh Allah.

Oleh karena itu, Islam menekankan pengampunan dan tanggung jawab pribadi.

Islam tidak mengenal dosa yang diwariskan sejak lahir.

Tiga, pandangan terhadap perempuan.

Dalam interpretasi tradisional Kristen, Hawa kerap dilihat sebagai simbol awal mula dosa manusia.

Kisahnya sering digunakan untuk menjustifikasi norma patriarki.

Contohnya, rasa sakit saat melahirkan dan perintah suami kepada istri.

Sebaliknya, Islam dan tradisi Yahudi lebih menekankan kesetaraan dan kemitraan.

Hawa disebut ibu umat manusia.

Perempuan tidak dianggap lebih rendah secara inheren karena kisah ini.

Dari sini terlihat bahwa mitos Hawa sangat mempengaruhi cara masyarakat memandang peran perempuan.

Makna dan Relevansi Kisah Hawa di Era Modern

Membandingkan tiga versi cerita Hawa ini menunjukkan betapa kaya dan kompleksnya warisan naratif agama-agama kita.

Di satu sisi, kisah ini menegaskan bahwa seluruh umat manusia pada dasarnya bersaudara.

Karena berasal dari satu pasangan.

Hal ini bisa menjadi pengingat penting untuk saling menghormati.

Serta menyadari persamaan kita terlepas dari agama atau latar belakang.

Di sisi lain, perbedaan bagaimana setiap tradisi menafsirkan peran Hawa mencerminkan nilai-nilai budaya yang berkembang di masing-masing masyarakat.

Misalnya, beberapa interpretasi tradisional Kristen menyoroti Hawa sebagai asal mula dosa.

Sementara Islam lebih menekankan pengampunan dan kesetaraan.

Sementara itu, legenda Lilith dalam tradisi Yahudi sering diangkat sebagai simbol kebebasan atau pemberontakan wanita.

Meskipun kisah ini bukan bagian dari teks suci, kisah Hawa mengajak kita berpikir kritis tentang peran perempuan dalam narasi keagamaan.

Juga tentang bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi pandangan masyarakat saat ini.

Dalam konteks modern, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya kesetaraan.

Saling menghormati dan tanggung jawab pribadi.

Ingatlah bahwa di balik tiap versi ini ada pesan moral yang ingin disampaikan.

Bukan sekadar kisah mitologis.

Kita bisa belajar bahwa setiap tradisi mencoba mengambil hikmah dari kisah Hawa untuk menegaskan nilai-nilai kemanusiaan.

Sekali lagi, apa yang bisa kita pelajari dari perbedaan kisah ini?

Intinya, kita diingatkan untuk selalu mencari pemahaman yang lebih dalam.

Serta saling menghormati perbedaan.

Tokoh Hawa dalam berbagai wajahnya mengingatkan kita bahwa perempuan memegang peran penting dalam cerita umat manusia.

Dan bahwa kita semua terkait sebagai satu keluarga besar.

Semoga ulasan ini menambah wawasan dan mengajak kita saling menghormati. (ASEP)

Rekomendasi