
BERITATERBERITA – Sejak menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang akrab disapa “Bapak Aing”, langsung mencuri perhatian publik.
Seperti dilansir beritaterberita dari media Westjavatoday, gaya kepemimpinannya yang unik, blusukan tanpa protokoler, hingga memberikan solusi instan dari kantong pribadinya, menjadikannya fenomena politik yang menarik.
Aktivitasnya yang rutin diunggah melalui kanal YouTube KDM berhasil memperluas popularitasnya, tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga di tingkat nasional.
Namun, di balik citra “Gubernur Rakyat” yang melekat padanya, muncul perdebatan serius mengenai batasan antara kedermawanan seorang pemimpin dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Pertanyaan krusialnya adalah: sampai sejauh mana tindakan-tindakan Dedi Mulyadi dapat dibenarkan dalam kerangka aturan yang berlaku?
Apakah tindakannya merupakan bentuk kepedulian yang tulus atau justru melanggar etika dan regulasi pemerintahan?
Beli Masalah Rakyat Pakai Uang Pribadi: Solusi Instan atau Pelanggaran Sistem?
Salah satu ciri khas kepemimpinan Dedi Mulyadi adalah kebiasaannya menyelesaikan masalah rakyat secara cepat menggunakan uang pribadinya.
Dalam berbagai kesempatan blusukan, ia tak ragu memberikan bantuan tunai kepada warga yang membutuhkan.
Contohnya, saat merobohkan rumah warga yang tinggal di bantaran sungai, kawasan yang rawan bencana dan melanggar tata ruang, Dedi langsung memberikan uang untuk membantu proses relokasi.
Tindakan ini seringkali dilakukan tanpa surat resmi atau mekanisme anggaran yang jelas.
Kalimat singkat seperti “Pindah, ini bantuan dari saya,” menjadi ciri khasnya dalam memberikan solusi instan.
Pedagang kecil yang kalah bersaing dengan pasar modern, rumah warga yang hampir roboh, serta berbagai kisah pilu lainnya, seringkali direspon Dedi Mulyadi melalui pendekatan karitatif yang spontan.
Di mata publik, Dedi Mulyadi seringkali dipandang sebagai “penolong rakyat” yang sigap dan peduli.
Namun, di sisi lain, tindakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai peran negara, sistem, dan prosedur hukum yang seharusnya berlaku.
Apakah seorang pemimpin boleh menggunakan kekuasaannya untuk memberikan bantuan pribadi tanpa melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel?
Tabrak Regulasi, Langkahi Prosedur: Kebaikan Tanpa Aturan Bisa Jadi Masalah?
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap tindakan kepala daerah harus didasarkan pada rencana pembangunan daerah dan melalui mekanisme anggaran resmi.
Undang-undang ini tidak memberikan ruang untuk solusi instan yang didasarkan pada preferensi pribadi, meskipun niatnya baik dan tulus.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menegaskan bahwa pejabat publik dilarang mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan kewenangan jabatannya.
Kebaikan yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang benar tetap dapat dikategorikan sebagai maladministrasi.
Artinya, ketika Dedi Mulyadi menggunakan uang pribadinya untuk menyelesaikan urusan publik, terdapat risiko serius terjadinya pengaburan batas antara seorang pejabat publik dan seorang patron pribadi.
Hal ini berpotensi menimbulkan masalah dalam hal akuntabilitas dan transparansi penggunaan anggaran negara.
Menghidupkan Politik Dermawan yang Feodal: Ketergantungan Rakyat atau Sistem yang Kuat?
Fenomena kepemimpinan Dedi Mulyadi bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks politik di berbagai daerah di Indonesia.
Pola serupa, di mana kepala daerah memberikan bantuan secara pribadi kepada warganya, sudah lama eksis.
Mulai dari wali kota yang membagikan sembako, bupati yang menyantuni warga, hingga gubernur yang membayar utang rakyat kecil, praktik “patronase karitatif” ini cukup umum ditemukan.
Dalam berbagai literatur politik lokal, model kepemimpinan seperti ini disebut sebagai “patronase karitatif”.
Pola relasi ini menempatkan rakyat sebagai penerima belas kasihan, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak setara.
Hal ini dapat menimbulkan ketergantungan rakyat kepada figur pemimpin tertentu, bukan pada sistem pemerintahan yang seharusnya melayani mereka.
“Pemimpin yang dermawan membangun ketergantungan. Pemimpin yang adil membangun sistem,” demikian ungkapan yang seringkali digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara kedua pendekatan ini.
Budaya patronase karitatif ini berpotensi melemahkan demokrasi karena loyalitas rakyat tidak dibangun melalui kepercayaan pada sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel, melainkan melalui rasa utang budi kepada figur pemimpin tertentu.
“Bapak Aing” di Persimpangan Jalan: Antara Popularitas dan Akuntabilitas
Sebutan “Bapak Aing” yang melekat pada Dedi Mulyadi memang menjadi simbol kedekatan emosionalnya dengan rakyat.
Namun, dalam sistem demokrasi modern, popularitas tidak boleh mengalahkan prinsip akuntabilitas yang menjadi fondasi utama.
Jika tindakan memberikan bantuan uang pribadi oleh pejabat publik dianggap sebagai hal yang lumrah saat ini, maka dikhawatirkan hal ini dapat membuka pintu bagi praktik populisme transaksional yang lebih masif di masa depan.
Padahal, tujuan utama dari jabatan publik adalah untuk membangun mekanisme kolektif yang kuat dan berkelanjutan, bukan untuk memperbesar kultus individu.
Kebaikan seorang pejabat publik tanpa adanya kontrol dan mekanisme yang jelas dapat menjadi pintu masuk bagi praktik-praktik yang tidak sehat, bahkan mengarah pada feodalisme baru dalam sistem pemerintahan.
Bukan Soal Baik atau Buruk, Tapi Soal Tata Kelola: Prioritaskan Sistem yang Transparan!
Meskipun Dedi Mulyadi mungkin memiliki niat yang tulus untuk membantu rakyatnya, dalam negara hukum, niat baik harus tetap tunduk pada prosedur yang baik dan benar.
Yang dibutuhkan oleh Jawa Barat, dan juga Indonesia secara keseluruhan, bukanlah sekadar pemimpin yang dermawan secara pribadi.
Namun, pemimpin yang mampu membangun institusi yang kuat, yang memastikan bahwa setiap rupiah bantuan tercatat dengan baik, transparan, dapat diaudit oleh pihak yang berwenang, dan memiliki keberlanjutan.
Karena dalam sistem demokrasi yang sehat, cara atau proses sama pentingnya dengan tujuan yang ingin dicapai.
Tata kelola pemerintahan yang baik akan memastikan bahwa bantuan yang diberikan kepada masyarakat benar-benar efektif, tepat sasaran, dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. (Red)
Sumber: Westjavatoday