Benarkah Umat Katolik Harus Pakai Baju Merah Saat Jumat Agung? Ini Penjelasan Romo Bayu Soal Warna Pakaian dan Makna Pengorbanan

Romo Bayu (Foto: Youtube/KATKIT Katekese Sedikit)

BERITATERBERITA – Di tengah khusyuknya penghayatan Ekaristi, terutama saat momen sakral Pekan Suci, umat Katolik sering kali dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan praktis seputar ibadah. Salah satu yang paling sering mencuat ke permukaan adalah soal penggunaan warna pakaian. Apakah ada aturan wajib terkait warna baju yang dikenakan saat menghadiri perayaan liturgi?

Perdebatan Warna di Jumat Agung Jadi Sorotan Umat

Momen perayaan Jumat Agung menjadi salah satu waktu di mana perbincangan soal warna pakaian umat ini kerap muncul. Beberapa umat punya kebiasaan memakai baju berwarna hitam sebagai simbol duka yang mendalam atas wafatnya Yesus Kristus di kayu salib. Namun, ada juga yang memilih memakai baju berwarna merah, mengikuti warna liturgi yang dikenakan oleh imam dan petugas liturgi.

Kebiasaan Umat Indonesia Simbolkan Penghayatan Pribadi

Di Indonesia sendiri, kebiasaan umat dalam penghayatan Ekaristi memang terkadang diekspresikan melalui warna baju yang mereka kenakan. Ini seringkali menjadi cara umat untuk menunjukkan identifikasi diri atau kedalaman penghayatan pribadi mereka terhadap peristiwa iman yang sedang dirayakan.

Romo Bayu Beri Penjelasan Tuntas Soal Liturgi Jumat Agung

Menjawab berbagai pertanyaan dan kebiasaan yang berkembang di kalangan umat, Romo Bayu memberikan penjelasan yang sangat mendalam. Ia memaparkan secara rinci mengenai aturan, makna teologis, dan detail liturgi yang berlaku dalam perayaan Jumat Agung.

Warna Liturgi Resmi Jumat Agung Adalah Merah

Menurut penjelasan Romo Bayu, Gereja Katolik secara resmi menetapkan warna merah sebagai warna liturgi untuk perayaan Jumat Agung. Penetapan warna ini bukanlah tanpa alasan. Warna merah secara langsung melambangkan kurban.

Merah Simbol Darah Kristus yang Tercurah

Secara teologis, warna merah ini merujuk pada darah Kristus yang tercurah saat Ia wafat di kayu salib. Darah tersebut dipahami sebagai korban penebusan dosa umat manusia. Oleh karena itu, penggunaan warna merah dalam liturgi Jumat Agung merupakan pengingat akan pengorbanan terbesar Yesus.

Umat Dianjurkan Pakai Merah, Tapi Tidak Wajib Mutlak

Romo Bayu menjelaskan bahwa jika umat ingin menyelaraskan diri dengan warna liturgi yang telah ditetapkan oleh Gereja, memakai baju berwarna merah adalah pilihan yang sangat sesuai dan dianjurkan. Namun, ia juga dengan tegas menekankan satu hal penting: umat tidak diwajibkan secara mutlak untuk menggunakan pakaian yang satu warna dengan warna liturgi yang dipakai oleh imam atau petugas.

Alasan Pribadi untuk Pakai Warna Lain Diperbolehkan

Lalu, bagaimana jika ada umat yang punya alasan tersendiri, misalnya memilih memakai baju hitam sebagai simbol kedukaan yang mendalam, atau warna lain di luar merah? Romo Bayu dengan jelas menjawab bahwa tidak ada masalah sama sekali jika umat memiliki pilihan warna pakaian yang berbeda.

Pentingnya Memahami Makna Teologis Warna Liturgi Gereja

Meskipun tidak ada kewajiban mutlak soal warna pakaian umat, Romo Bayu menggarisbawahi pentingnya bagi umat untuk memahami alasan di balik penetapan warna liturgi oleh Gereja. Gereja menetapkan warna liturgi bukan tanpa dasar.

Refleksi Teologis Gereja Sepanjang Sejarah

Penetapan warna liturgi didasarkan pada refleksi teologis yang terus berkembang sepanjang sejarah Gereja. Refleksi teologis ini, dijelaskan Romo Bayu, bisa dimaknai sebagai renungan mendalam mengenai makna dari peristiwa iman yang sedang dirayakan.

Jumat Agung Bukan Hanya Hari Kedukaan

Romo Bayu memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai Jumat Agung. Ia menjelaskan bahwa hari tersebut tidak hanya dimaknai semata-mata sebagai hari kedukaan atas wafatnya Yesus.

Makna Kemenangan di Balik Pengorbanan Salib

Di balik peristiwa Jumat Agung, terkandung juga makna kemenangan. Namun, kemenangan yang dimaksud di sini adalah kemenangan yang diraih justru melalui pengorbanan yang terjadi di kayu salib. Salib yang tampak sebagai lambang penderitaan, dalam iman Katolik juga merupakan lambang kemenangan Kristus atas dosa dan maut.

Penghormatan Salib Bernuansa Kemuliaan

Romo Bayu menyoroti momen penghormatan salib dalam ibadat Jumat Agung. Ketika umat diajak menghormati salib dengan kalimat “Lihat, inilah kayu salib,” nada yang digunakan oleh pemimpin liturgi bukanlah nada kesedihan yang mendalam dan meratapi. Nada tersebut justru bernuansa kemuliaan, “Di sini bergantung Kristus,” menunjukkan kemenangan yang diperoleh Kristus melalui wafat-Nya di salib. Ini adalah refleksi teologis yang sangat penting.

Kekhasan Liturgi Jumat Agung: Tidak Ada Misa Ekaristi

Selain makna warna, Romo Bayu juga menjelaskan kekhasan liturgi Jumat Agung yang membedakannya dari hari-hari lain dalam setahun Gereja. Salah satu yang paling mencolok adalah bahwa pada Jumat Agung, tidak ada perayaan Misa Ekaristi.

Satu-satunya Hari Tanpa Misa dalam Setahun

Jumat Agung adalah satu-satunya hari dalam setahun di mana Gereja Katolik tidak merayakan Misa Ekaristi. Hal ini diatur secara tegas dalam Pedoman Perayaan Paskah (PPP) nomor 59, yang menyatakan bahwa menurut tradisi kuno, pada hari ini Gereja tidak merayakan Ekaristi.

Peribadatan Komuni Pengganti Misa Ekaristi

Sebagai gantinya Misa Ekaristi, pada Jumat Agung yang dirayakan adalah peribadatan dengan Komuni. PPP nomor 64 merinci bahwa liturgi Jumat Agung terdiri dari tiga bagian utama: Perayaan Sabda, Penghormatan Salib (atau Adorasi Salib), dan Komuni. Perayaan Sabda meliputi bacaan-bacaan Kitab Suci, termasuk pembacaan Kisah Sengsara Yesus (Pasio). Romo Bayu secara khusus menyoroti Pasio yang dibacakan pada Jumat Agung selalu diambil dari Injil Yohanes, yang memiliki kekhasan dalam menggambarkan sosok Yesus.

Pasio Yohanes Gambarkan Yesus Memegang Kendali Penuh

Menurut Romo Bayu, dalam Pasio yang diambil dari Injil Yohanes, sosok Yesus digambarkan memegang kendali penuh atas segala peristiwa yang terjadi. Yesus memberikan diri-Nya untuk ditangkap dengan kerelaan, bukan ditangkap secara paksa. Hal ini sejalan dengan homili pada Minggu Palma sebelumnya, di mana Yesus mengizinkan diri-Nya ditangkap. Romo Bayu mencontohkan, dalam Pasio Yohanes, ketika Yesus mengatakan “Akulah Dia,” 600 orang yang mengepung-Nya terpental ke belakang dan jatuh ke tanah. Saat diadili oleh Pilatus, Yesus menjawab pertanyaan dengan gagah dan penuh otoritas. Dalam Pasio Yohanes, Yesus tampil sebagai sosok yang berdaulat penuh atas situasi yang dialami-Nya.

Komuni Diambil dari Hosti Kamis Putih

Bagian ketiga liturgi Jumat Agung adalah Komuni. Komuni yang dibagikan pada Jumat Agung diambil dari hosti yang telah dikonsekrasikan pada perayaan Misa Kamis Putih malam sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan perayaan Kamis Putih, yang memperingati Perjamuan Terakhir dan Penetapan Ekaristi, dengan Jumat Agung, yang memperingati Wafat Kristus di Salib. Romo Bayu menjelaskan bahwa Misa itu menunjuk pada salib, perayaan Ekaristi menunjuk pada kurban salib Kristus.

Ekaristi dan Salib Punya Makna yang Nyambung

Setiap kali umat merayakan Ekaristi dan menerima Tubuh Kristus, kita menerima Tubuh Kristus yang benar-benar dikedepankan dan dikurbankan pada kayu salib. Inilah makna kesinambungan yang dalam antara Kamis Putih dan Jumat Agung. Sakramen Ekaristi tak bisa dilepaskan dari peristiwa Salib Kristus.

Sikap Bertiarap di Awal Ibadat Jumat Agung

Kekhasan lain dalam liturgi Jumat Agung adalah sikap bertiarap (prostratio) yang dilakukan oleh imam atau pemimpin liturgi di awal perayaan. Romo Bayu menjelaskan bahwa sikap ini, yang sering kita lihat dilakukan oleh Bapa Suci, memiliki makna ganda. Pertama, sebagai sikap kerendahan hati di hadapan keagungan pengorbanan Kristus. Kedua, sebagai ungkapan kedukaan Gereja karena Guru dan Tuhan yang wafat. Ini adalah sikap rendah hati dan kedukaan yang dihayati oleh Gereja perdana.

Waktu Pelaksanaan Ibadat Jumat Agung

Umumnya, ibadat Jumat Agung dirayakan pada pukul 15.00 WIB. Waktu ini dipilih sesuai dengan waktu wafatnya Yesus, seperti yang diatur dalam PPP nomor 63. Namun, Romo Bayu menambahkan, jika ada kebutuhan pastoral, waktu perayaan bisa digeser, tetapi tidak diperbolehkan dilaksanakan lebih dari pukul 21.00 WIB.

Jumat Agung Adalah Hari Tobat Wajib Puasa dan Pantang

Terakhir, Romo Bayu mengingatkan bahwa Jumat Agung adalah hari tobat. Oleh karena itu, puasa dan pantang adalah kewajiban bagi umat Katolik yang telah memenuhi syarat. Hal ini diatur dalam PPP nomor 60. Puasa dan pantang menjadi cara umat untuk turut berpartisipasi dalam penyesalan dan pertobatan atas dosa yang menyebabkan Kristus harus berkorban.

Niat dan Penghayatan Lebih Penting dari Warna Baju

Pada intinya, Romo Bayu menegaskan kembali pesannya: umat Katolik diperbolehkan untuk memakai pakaian berwarna apa pun saat Jumat Agung. Mau itu merah, hitam, pink, atau warna lainnya, tidak ada larangan. Hal terpenting bukanlah pada warna pakaian yang dikenakan, tetapi pada niat dan kedalaman penghayatan dalam mengikuti ibadat. Gereja tidak mewajibkan warna tertentu, tetapi menghimbau warna merah sebagai simbol pencurahan darah Kristus yang menyelamatkan. Jika ada umat yang merasa lebih khusyuk menghayati dengan memakai baju hitam sebagai simbol duka, itu pun tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah datang ke gereja, memakai pakaian yang sopan dan pantas, serta mengikuti ibadat Jumat Agung dengan penuh penghayatan akan makna pengorbanan Kristus yang agung. (Red)

Sumber: Youtube – Katkit Katekese Sedikit (Romo Bayu)

Rekomendasi