Garda Swiss Vatikan: Pasukan Misterius Pelindung Paus, Dari Rekrutmen Hingga Siap Berkorban Nyawa

Pengawal Kepausan Garda Swiss (Foto: Tangkapan Layar Youtube/DW Dokumenter)

BERITATERBERITA – Mereka adalah kesatuan militer terkecil dan paling menyimpan misteri di dunia: Pengawal Kepausan Garda Swiss. Kisah para pria beriman yang sekaligus prajurit ini, mulai dari proses seleksi ketat di negeri asalnya, Swiss, hingga menjalani program pelatihan militer di jantung Kota Vatikan, menjadi sorotan menarik.

Terdiri dari sekitar 135 personel elit, kesatuan ini menghuni barak-barak khusus di tengah hiruk pikuk Kota Vatikan. Syarat utama untuk bergabung tak main-main: harus berkewarganegaraan Swiss dan merupakan penganut agama Katolik yang taat. Di pundak mereka, tersemat sumpah suci untuk bertempur demi memberikan perlindungan maksimal bagi Sri Paus.

Mereka adalah pewaris sebuah tradisi berusia lebih dari 500 tahun. Warisan mulia mengenai jaminan proteksi untuk Paus yang secara historis disematkan pada tentara bayaran asal Swiss, yang terkenal akan keberanian dan kesetiaannya di medan perang.

Terbiasa menggunakan tombak tradisional yang ikonik, namun juga mahir mengoperasikan senapan otomatis modern, Garda Swiss merupakan pasukan yang benar-benar unik di era modern. Namun, siapakah sesungguhnya para pemuda di balik seragam warna-warni itu? Apa yang mendasari mereka, di tengah gemerlap dunia modern, memutuskan untuk mengabdikan diri bergabung dalam korps militer dan keagamaan ini? Laporan ini berupaya membawa wawasan yang mungkin belum banyak diketahui publik. Berdiri tegap berseragam unik dan bersenjata khas abad pertengahan di Lapangan Santo Petrus, Kota Vatikan, sekilas mereka mungkin tampak seperti penjaga seremonial biasa, bahkan terlihat lucu oleh sebagian orang.

Namun banyak yang tidak menyadari. Mereka ini adalah tentara sungguhan. Pasukan terlatih nan profesional. Mereka dibekali kemampuan tempur. Serta teknik perlindungan jarak dekat yang mumpuni.

Pasukan yang kental sarat tradisi masa lampau ini. Memakai senjata tradisional yang ditempa oleh sebuah keluarga pengrajin di Austria. Pembuatan senjata itu dilakukan memakai metode sama sejak Abad Pertengahan. Bagian tertentu tombak mereka berfungsi untuk menarik musuh ke bawah. Ujungnya berguna untuk menusuk.

Setiap tahunnya. Vatikan membuka rekrutmen bagi pemuda dari Swiss. Tradisi prajurit dari Swiss yang memberikan proteksi bagi Paus telah berjalan melampaui 500 tahun.

Salah satunya adalah Leo. Berasal dari Freiburg, sebuah daerah yang berbahasa Prancis di Swiss. Di sanalah Leo menghabiskan seluruh hidupnya. Tetapi, menginjak usia 20 tahun, Leo mengambil keputusan besar. Sebuah perubahan radikal dalam hidupnya. Beberapa hari ke depan. Dia akan berangkat menuju Roma. Tujuannya jelas. Untuk melayani Paus.

Dalam persiapan perjalanannya. Berbagai barang pribadi masuk ke dalam koper. Pakaian olahraga. Baju tidur. Perlengkapan mandi. Tak lupa. Kamus bahasa Italia. Dan sebuah item tak terduga. Masker gas tentara. Leo sendiri mengaku belum tahu untuk apa masker itu nantinya.

Leo telah menyelesaikan wajib militernya. Kewajiban bagi setiap warga negara Swiss. Suasana kamar tidurnya mencerminkan panggilan hidupnya. Hiasan di dinding berbeda. Tidak seperti kamar anak laki-laki seusianya pada umumnya. Terpajang gambar-gambar keagamaan. Foto mendiang Paus Yohanes Paulus II. Bahkan miniatur Pengawal Garda Swiss.

Baginya. Mendaftar Garda Swiss adalah impian yang jadi kenyataan. “Saya memimpikan ini sejak kecil,” tutur Leo penuh semangat. “Sungguh suatu kehormatan bisa begitu dekat dengan Paus! Saya pikir, sungguh kehormatan bisa bergabung dengan Garda Swiss. Kami bisa banyak belajar di sana. Semua tentang sejarah Vatikan dan agama kami, juga tentang aspek militernya,” jelasnya. Baginya. Ada banyak hal menarik. Serta menggugah rasa ingin tahu. “Dan bagi saya, ini adalah kesempatan unik. Jadi, mengapa tidak memanfaatkannya?” pungkas Leo.

Beberapa bulan sebelum keberangkatan. Leo mengajukan lamaran. Dan dinyatakan diterima. Vatikan kemudian meminta dirinya menandatangani surat komitmen. Sebuah dokumen yang punya bobot pertanggungjawaban serius. “Dengan ini saya menyatakan bahwa saya adalah warga negara Swiss. Bahwa saya menjalankan agama Katolik Roma dan hidup sesuai ajaran Gereja. Dan bahwa saya berkomitmen…” demikian bunyi sebagian isi surat itu. Lewat surat ini. Leo menyatakan kesiapan penuhnya. Kesediaan untuk membela Paus dalam kondisi apa pun. Karena itu. Ia menyatakan diri siap mengabdikan hidupnya. Bagi Bapa Suci dan para penerus sahnya.

Keputusan Leo bergabung Garda Swiss bukanlah sebuah kebetulan semata. Ayahnya. Yang saat ini bekerja sebagai pekerja sosial. Ternyata 30 tahun silam. Juga pernah menjadi anggota Garda Swiss. Terlihat fotonya. Dalam seragam lengkap pada era 1990-an. “Itu pengalaman yang luar biasa bagi saya. Saya seumuran Leo ketika dia pergi. Pengalaman yang luar biasa dan baik,” kenang sang ayah.

Leo memenuhi seluruh kriteria. Dan persyaratan ketat dari Vatikan. Ia warga negara Swiss. Masih lajang. Penganut Katolik yang taat. Memiliki tinggi badan di atas 1,74 meter. Dan telah menuntaskan wajib militer. Pastor parokinya juga memberikan referensi positif mengenai karakternya. Sebelum berangkat. Ada persyaratan terakhir yang dipenuhi. Jas hitam. Jas ini dikenakan para personel Garda Swiss. Ketika mereka bepergian bersama Paus. Jasnya sudah selesai dijahit.

Perasaan gugup bercampur antusias menyelimuti Leo menjelang keberangkatan. “Gugup? Lumayan. Ini di luar zona nyaman saya,” aku Leo. “Saya akan akan memulai petualangan baru, dan berpisah dengan keluarga. Tapi di satu sisi, semua ini terasa aneh,” tambahnya. Seperti semua rekrutan baru, Leo mendaftar untuk masa tugas awal 26 bulan. Ini kali pertama dia meninggalkan rumah dalam jangka waktu lama. Sang ibunda tak bisa menyembunyikan perasaannya. “Saya gembira untuknya. Tapi pastinya saya akan kangen. Itu sudah pasti,” ucapnya. “Akan sangat terasa janggal. Tapi aku bangga padamu,” ujarnya lagi. Leo menjawab dengan ucapan terima kasih.

Beberapa hari kemudian. Leo tiba di Roma. Empat belas rekrutan baru Garda Swiss lainnya juga memasuki gerbang Vatikan bersamanya. “Saya gugup, gembira, tidak sabar,” kata Leo menggambarkan perasaannya saat itu. “Saya tidak sabar memulai petualangan baru,” tambahnya. Tentu saja, para pemuda ini punya ketertarikan pada aspek militer dari pengabdian ini. Namun, mereka juga adalah umat Katolik yang taat. Dan penuh komitmen pada keyakinan mereka. Seperti pemuda lainnya. Garda Swiss tidak hanya punya sisi militer. Tetapi juga sisi keagamaan yang kuat. “Dan dengan mengabdi di pusat keagamaan Katolik, saya berharap dapat memperdalam dan memperkuat iman saya,” ujar salah seorang rekrutan baru.

Setiap tahun. Vatikan merekrut sekitar 30 pengawal baru untuk Garda Swiss. Mereka akan menghuni barak-barak khusus selama dua tahun ke depan. Terlihat koridor panjang. Mengarah ke ruangan-ruangan yang awalnya kosong. Luasnya tak sampai delapan meter persegi. Berisi dua tempat tidur sempit. Dan tanpa pintu.

Waktu persiapan sangat singkat. Mereka diberi beberapa menit untuk bersiap. Dan mengenakan seragam di bawah pengawasan ketat instruktur. Salah satunya adalah René. Seorang Kopral yang telah enam tahun bergabung Garda Swiss. Ia bertugas memperkenalkan dunia Vatikan kepada para rekrutan. “Vatikan adalah dunia yang berbeda. Kami harus menjelaskan segala sesuatunya. Dan apa yang harus mereka hormati,” jelas René. “Kami mengharapkan disiplin ketat,” tegasnya.

Ada momen tegang. Beberapa rekrutan tiba-tiba merasa panik. Misalnya saat harus mengikat dasi. Mereka mencoba mengatasinya. Memakai tutorial di internet. “Apa ini yang pertama (mengikat dasi)?” tanya seorang rekrutan pada rekannya. “Tidak, tapi sudah lama sejak terakhir saya mengikat dasi. Ketika wajib militer, jika sudah sekali membuat simpul dasi, tidak perlu dari awal lagi, tinggal dilonggarkan dan pakai lagi,” jawab rekannya. Instruktur kemudian meminta mereka saling membantu. Memastikan semua dasi terpasang rapi. “Siap?” seru instruktur. Meski semua mengenakan jas terbaik. Ini bukanlah acara santai. Seperti pesta penyambutan. “Yang terakhir keluar, matikan lampu,” pesan René.

Para rekrutan muda ini baru berada di sana kurang dari satu jam. Dan mereka langsung merasakan suasana disiplin Vatikan. Misa segera diadakan. Di kapel khusus untuk Garda Swiss. Mereka semua tahu sejak awal. Mereka memasuki dunia yang berbeda. Dunia yang tertutup. Ditata oleh aturan-aturan kuno. Dan sebagian besarnya tidak bisa diakses warga biasa.

Vatikan adalah tempat menyimpan misteri. Dan relatif tertutup. Tentu saja. Ada area yang bisa disaksikan para wisatawan. Lapangan Santo Petrus. Serta Basilika Agung Santo Petrus. Keduanya dihadiri jutaan pengunjung tiap tahun. Kawasan itu kaya akan warisan budaya. Dipenuhi pernak-pernik keagamaan. Dan foto-foto Paus Fransiskus yang mudah ditemukan di mana-mana. Namun. Vatikan lebih dari itu. Ia adalah pusat agama Katolik. Sebuah negara merdeka. Berada di jantung Kota Roma. Negara terkecil di dunia. Luasnya hanya sekitar setengah kilometer persegi.

Dari sinilah. Paus memimpin lebih dari 1,4 miliar umat Katolik di seluruh penjuru dunia. Di Vatikan. Kekuasaan Paus sangat besar. Ia merupakan salah satu dari sedikit monarki absolut terakhir yang masih ada di dunia. Ini adalah tempat yang sarat pengaruh. Dan kekuasaan. Dikelilingi tembok tinggi. Serta dipasangi kamera pengawas di banyak sudut. Vatikan selalu dijaga ketat keamanannya. Di luar tembok, perbatasannya dijaga oleh tentara. Serta polisi Italia.

Di bagian dalam perbatasan. Proteksi diberikan oleh sekelompok polisi Vatikan. Serta para personel Pengawal Garda Swiss. Mereka telah menjaga para Paus. Selama lebih dari 500 tahun. Semua ini bermula pada abad ke-16. Kala itu. Paus Julius II merekrut 150 tentara bayaran asal Swiss. Untuk bertugas melindunginya. Pada masa itu. Para prajurit Swiss termasyhur atas keberaniannya di medan tempur. Dan. Yang terpenting. Kesetiaan mereka yang tak tergoyahkan. Hebatnya. Tradisi historis ini terus lestari hingga kini.

Dan Garda Swiss. Masih mempertahankan penggunaan baju zirah. Serta seragam ikoniknya yang khas. Seragam itu adalah impian bagi para anggota baru. Seperti Grégoire dan Léo. Untuk saat ini. Mereka baru memiliki bagian sepatunya saja. “Ini bunyi sepatunya,” kata Grégoire sambil menunjukkan sepatunya. “Wah! Keren banget!” timpal rekannya.

Ini adalah hari penting. Hari pengukuran seragam. Tempat penjahit seragam Garda Swiss berlokasi di dalam barak mereka. Semua seragam dibuat sesuai pesanan. Dikerjakan di sini. “Turunkan lenganmu,” ujar penjahit. Ety Cicioni adalah orang yang bertanggung jawab. Dia membuat lebih dari 50 seragam setiap tahunnya. “Saya telah melakukan pekerjaan ini sejak 1997. Jadi, ini tahun ke-25 saya dengan Garda Swiss,” kata Ety. Sejak memulai pekerjaan ini. Ia telah melayani tiga Paus. Seragam Garda Swiss. Adalah warisan desain. Dari Zaman Renaisans Italia. Terdiri dari 154 potong kain wol. Dijahit secara manual. “Kami butuh 39 jam untuk menjahit satu seragam,” ungkap Ety.

Ekspresi senang terlihat di wajah para rekrutan saat diukur. “Keren sekali. Biasanya kami cuma bisa melihat, bukannya memakai,” kata Grégoire. “Sekarang akhirnya kami diukur untuk bisa dibuatkan bajunya. Sangat menyenangkan,” tambahnya. Selama dua tahun bertugas. Para pengawal Garda Swiss. Hampir selalu tinggal di dalam Vatikan. Jarang sekali keluar. Mereka makan. Dan tidur di barak.

Setelah empat bulan menetap di asrama. Grégoire kini punya kamar sendiri. Dengan pemandangan langsung ke arah Kota Roma. “Di Swiss, saya bisa melihat pegunungan. Namun, di sini, saya melihat Kastil Santo Angelo. Dan monumen bersejarah lainnya,” ujar Grégoire. “Ini perubahan besar. Dan saya sangat menikmatinya,” lanjutnya. Kehidupan Grégoire bisa dibilang semi-monastik. Menjalani perpaduan kehidupan biarawan. Dan prajurit. Mengabdikan diri sepenuhnya untuk Paus.

“Saat mengenakan seragam, Anda mewakili sesuatu yang berusia lebih dari dua ribu tahun,” kata Grégoire penuh makna. “Apa yang kami wakili dengan seragam ini adalah Bapa Suci dan Gereja. Itu sungguh terhormat,” tegasnya. Grégoire bertugas bergantian. Siang dan malam. Seperti semua anggota baru lainnya. Tugas utamanya adalah mengawasi pintu-pintu masuk Vatikan. Seperti rekan-rekannya. Grégoire tidak punya waktu libur di akhir pekan. Dan hanya memiliki 30 hari libur dalam setahun. “Ada yang suka menghabiskan masa mudanya berkeliling dunia dan belajar. Bagi kami, saya memberikan setidaknya dua tahun untuk gereja. Dan saya percaya, saya harus mengabdi total untuk itu,” jelas Grégoire mengenai pilihan hidupnya. “Saya tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan diri sendiri. Tapi kita harus mengesampingkan sebagian besar minat,” tambahnya.

Mereka terkadang bekerja hingga 60 jam seminggu. Imbalannya? “Kami menghasilkan rata-rata 1.500 euro,” ungkap salah seorang. Jika dikonversi ke Rupiah saat ini. Jumlahnya sekitar Rp 26,7 juta per bulan. Memang. Angka itu tidak terbilang besar. Terutama jika dibandingkan dengan gaji rata-rata di Swiss. Gaji rata-rata di Swiss bisa mencapai 5.000 franc. Setara sekitar Rp 78 juta. Bahkan pekerja tidak terampil di sana dibayar 4.000 hingga 4.500 franc. Setara Rp 62,4 juta hingga Rp 70,2 juta. “Di sini, dibayar 1.500 euro, tapi kita bukan di Swiss,” kata rekrutan lain. Angka ini menunjukkan bahwa motivasi mereka bergabung. Benar-benar untuk pengabdian. Bukan mencari uang.

Sebagai imbalan. Para prajurit muda ini memperoleh hak istimewa. Seperti akses bebas ke tempat-tempat. Yang biasanya terlarang bagi warga biasa. Termasuk ke Taman Vatikan. Sebuah oasis hijau nan indah. Berada di pusat kota. Taman-taman ini luasnya lebih dari setengah area Vatikan. Umumnya. Taman ini hanya terbuka bagi para pastor. Biarawan. Serta biarawati yang tinggal di sana. Namun. Para personel Garda Swiss diizinkan berlatih di taman ini. Kapan pun mereka mau. “Ini merupakan paru-paru bagi kota. Dan kami juga,” ujar mereka. “Dan saya perlu katakan bahwa kami sangat beruntung memiliki ini. Karena tidak semua orang di Roma memiliki akses ke taman-taman yang damai seperti ini,” tambahnya.

Di sore hari. Ada sedikit waktu luang untuk bersantai. Para penjaga diizinkan meninggalkan Vatikan kapan pun. Namun. Waktu mereka terbatas. Jadi. Leo dan teman-temannya tidak pernah pergi terlalu jauh ke Roma. Tempat berkumpul favorit mereka. Adalah sebuah bar yang berjarak hanya 200 meter dari Vatikan. “Itu di sana. Yang ada tulisan Morrison, di bawah lengkungan itu,” kata Leo menunjuk. Mereka berusaha berkumpul di sana setidaknya seminggu sekali.

Satu gelas bir saja sudah cukup. Karena bahkan saat tidak dalam jam tugas. Para personel Garda Swiss tetaplah representasi Paus. “Ini adalah tanggung jawab besar. Karena kami mewakili nilai Kepausan dan Gereja Katolik,” jelas mereka. “Ketika kami tiba di suatu tempat. Orang-orang tahu bahwa kami adalah Garda Swiss. Jadi, saya tidak bisa mabuk-mabukan sembarangan,” tambahnya. Paus sendiri. Setiap tahun. Mengingatkan mereka akan hal ini. Dalam pertemuan tertutup. Ia berpesan kepada anggota baru yang akan mengambil sumpah. Paus berkata. “Kalian adalah kartu nama saya.”

Bahkan saat berada di bar. Mereka mempraktikkan ajaran agama. “Saat di Swiss saya tidak selalu menjalankannya,” kata Leo. “Namun di sini. Kami melakukannya dengan teratur. Itu jadi kebiasaan,” lanjutnya. Ia tak merasa malu. Merasa nyaman menjalani itu. “Dan jika ada yang tidak suka. Mereka bisa sampaikan langsung ke saya,” tegasnya. Saat ditanya. Apa mereka tidak merasa berbeda dari dunia modern? Salah seorang rekrutan menjawab santai. “Bukannya dunia modern yang berbeda dari kami?”

Sejauh mana aturan keberagamaan Vatikan memengaruhi kehidupan pribadi mereka? Muncul pertanyaan umum. Saat menjadi Garda Swiss. Apa mereka juga mengikrarkan kaul kemurnian atau selibat? “Tidak. Tentu tidak,” jawab mereka tegas. “Kami bukan pastor. Kami pengawal,” jelasnya. Setelah mengabdi selama lima tahun. Mereka diperbolehkan berkeluarga. Meski tetap menjadi pengawal. “Kami tidak mengucapkan janji selibat. Kami masih punya hak berkeluarga atau berpasangan,” ujar salah seorang rekrutan.

Dari sekian banyak rekrutan yang duduk di meja bar. Hanya Marc yang diketahui sudah punya pacar. Ia sudah dua tahun berada di Vatikan. Dan baru saja memutuskan memperpanjang masa tugasnya satu tahun lagi. “Ya, saya punya pacar di Swiss,” kata Marc. Saat mengatakan akan menjadi personel Garda Swiss selama dua tahun. Apa reaksi pacarnya? “Jelas, dia awalnya tidak begitu senang,” aku Marc. “Tapi saya tahu bahwa jika saya tidak melakukannya. Saya akan menyesal,” tambahnya. Meyakinkan sang kekasih agar mau menjalani hubungan jarak jauh selama minimal dua tahun. Hingga kemungkinan lebih lama. Tentu bukan hal mudah. “Tetapi jika kami bisa melewati ini, ke depannya mungkin bisa berhasil,” harap Marc. Peraturan di Vatikan mengizinkan pengawal Garda Swiss tinggal bersama seorang perempuan. Dengan dua syarat. Pengawal tersebut telah mengabdi minimal lima tahun. Dan mereka harus sudah menikah secara sah.

Kembali ke barak. Program pelatihan makin intens. Para rekrutan muda harus bertransformasi menjadi tentara profesional secepat mungkin. Pelatihan yang dipercepat ini diberikan langsung oleh instruktur berpengalaman dari tentara Swiss. Menariknya. Konfederasi Swiss turut menanggung setengah dari biaya pelatihan militer. Bagi personel Garda Swiss di Vatikan.

Di Pegunungan Ticino. Area di Swiss yang menggunakan bahasa Italia. Terletak pusat pelatihan. Bagi pasukan khusus negara itu. Dan di sinilah. Berlangsung pangkalan pelatihan militer. Untuk rekrutan baru Garda Swiss. Semua pemuda ini telah menuntaskan empat bulan wajib militer sebelumnya. Namun. Semua materi pelatihan di sini adalah hal baru bagi mereka. Pernah menembakkan senjata pistol sebelumnya? “Belum pernah dengan pistol. Saya hanya menembak senapan saat bertugas di militer,” aku salah seorang rekrutan. “Saya akui pistol jauh lebih sulit untuk membidik,” tambahnya.

Pelatihan intensif ini berlangsung selama satu bulan penuh. Para pengawal muda ini akan diajari berbagai teknik. Termasuk pertarungan jarak dekat. Langsung dari pasukan khusus kepolisian Swiss. Tujuannya jelas. Untuk mampu menaklukkan potensi bahaya. Terutama saat berada di tengah kerumunan turis. Di Lapangan Santo Petrus yang padat pengunjung.

Bagi Grégoire. Ini kali pertama ia menjalani latihan perlindungan jarak dekat semacam ini. “Bukannya terkejut. Tapi ini memang hal baru,” katanya. “Kita sering kali melihat personel Garda Swiss berdiri diam di pintu perunggu dengan tombak. Tetapi ternyata lebih dari itu,” jelasnya. “Ya, saya menikmatinya,” lanjut Grégoire. Ia menyadari. Ini juga bagian dari tanggung jawab. Yang harus diemban Garda Swiss. Dan sesuatu yang wajar. Mengingat potensi ancaman. Yang ada saat ini.

Bagi Vatikan. Ancaman paling besar yang dihadapi. Bukanlah serangan dari kelompok teroris berskala besar. Melainkan percobaan pembunuhan Paus. Terutama saat beliau bertemu umat Katolik secara langsung. Sejak terpilih pada tahun 2013. Paus Fransiskus dikenal berusaha sangat dekat dengan publik. Kedekatan ini. Meski dicintai umat. Sering kali membuat mereka yang bertanggung jawab atas keamanannya merasa cemas.

Barak Garda Swiss. Pukul 5 pagi. Hari yang bakal sangat menegangkan dimulai bagi René. Sang Kopral. Hari itu adalah Misa Paskah tahun 2023. Dan ia ditugaskan menjadi pengawal pribadi Bapa Suci. Untuk bisa berbaur dengan kerumunan. Ia mengenakan pakaian sipil. Setelan jas hitam. Dan dasi istimewa. “Saya memakainya terutama untuk perlindungan jarak dekat,” jelas René sambil menunjukkan dasinya. Dasi ini didesain. Agar tidak bisa ditarik kuat oleh penyerang. Kalau ditarik. Dasi ini akan lepas. Dasi ini juga lebih cepat untuk dipakai.

René adalah seorang praktisi tinju. Serta berbagai olahraga bela diri. Di usianya yang ke-29 tahun. Ia adalah salah satu anggota elit Garda Swiss. Ada sekitar tiga puluh personel terpilih. Yang secara khusus ditugaskan memberikan perlindungan jarak dekat. Bagi Paus Fransiskus. “Saat saya dekat dengannya. Dan dia bergerak. Saya harus 100 persen siap,” tegas René. Dalam bahasa Jerman. Ada ungkapan yang pas. “Berharap untuk yang terbaik. Dan bersiap untuk yang terburuk!” Ia membawa berbagai perlengkapan. Borgol. Gas air mata. Serta pistol semi otomatis. Yang tidak diperbolehkan ditunjukkan ke kamera.

Minggu Paskah 2023. Sekitar 80.000 peziarah diperkirakan berkumpul. Di Lapangan Santo Petrus. Tempat Paus akan memimpin misa agung. Vatikan berada dalam status siaga tertinggi. Seluruh area alun-alun diawasi dengan ketat. Para personel Garda Swiss berpatroli. Bahkan di atap-atap gedung. Di lantai dasar. Polisi Italia mengontrol akses masuk setiap individu.

Ini adalah hari paling krusial. Bagi umat Katolik sedunia. Mereka merayakan bangkitnya Kristus. Dan tradisi mengharuskan Paus merayakan misa besar. Di ruang terbuka. Di depan Basilika Santo Petrus yang megah. Bagi René. Serta para petugas Garda Swiss lainnya. Momen paling sulit. Adalah setelah misa selesai. Ketika Paus bertemu dengan umat Katolik. Berkeliling menggunakan mobil putihnya yang terbuka. Mobil Paus yang terkenal.

Terlepas dari risiko yang ada. Serta usianya yang sudah lanjut. Paus Fransiskus selalu berupaya untuk dekat. Dengan publik. Dan umat Katolik yang datang. René memimpin pengawalan di dekat mobil Paus. Ia terlihat di kiri bawah layar. Berjalan di depan mobil. Menyisir setiap sudut kerumunan. Seperti para pengawal Garda Swiss lainnya. Ia memikirkan kembali serangan kelam. Terhadap Paus Yohanes Paulus II. Lebih dari 40 tahun silam. Tepatnya tahun 1981. Di tempat yang sama. Lapangan Santo Petrus. Paus Yohanes Paulus II berada di tengah kerumunan umat Katolik. Tiba-tiba. Seorang pria melepaskan tembakan. Paus terjatuh. Ia tertembak di bagian perut. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Dan nyawanya nyaris saja tidak tertolong. Itu adalah pengalaman traumatis. Bagi Garda Swiss. Yang sejak insiden itu. Memperketat protokol keamanan. Dengan sangat signifikan. Dan. Hingga saat ini. Insiden serius semacam itu belum pernah terjadi lagi.

Di penghujung upacara. Para personel Garda Swiss berbaris rapi. Dengan mengenakan baju besi. Dan seragam lengkap. Sebuah aksi yang sering kali memancing rasa haru. Bagi sebagian penonton yang menyaksikannya. “Sangat tradisional,” ujar seorang penonton. “Menurut saya, sangat bagus untuk menjaga tradisi. Apalagi sebagian besar anak muda, itu bagus,” tambahnya. “Ini menunjukkan masih ada anak muda yang berkomitmen,” katanya lagi, mengapresiasi dedikasi para pemuda Swiss ini.

Namun hari itu. Para rekrutan baru. Tidak ikut ambil bagian dalam parade megah tersebut. Mereka belum sepenuhnya siap. Masih ada latihan penting yang harus mereka jalani. Salah satu latihan yang paling mereka takuti. Adalah latihan penjagaan statis.

Grégoire, Léo, dan rekan-rekan mereka. Harus berdiri diam. Tanpa bergerak. Serta tanpa suara. Selama satu jam penuh. Sambil memegang tombak. Uniknya. Kemampuan ini. Harus diajarkan secara khusus. Ini tentang mengendalikan diri. Tidak bergerak sama sekali. Bahkan tidak boleh menggaruk jika gatal. “Itu bagian tersulit,” kata mereka. “Ini latihan yang bagus. Karena anak muda zaman sekarang tidak terbiasa berdiam selama beberapa jam. Tanpa melakukan apa pun,” ujar sang instruktur, René.

René. Sang Kopral. Mengawasi langsung latihan tersebut. Ia menguji ketahanan para rekrutan. Satu per satu. Setelah berlatih selama 30 menit. Grégoire mulai terlihat kesulitan. Sedikit goyah. “Diamlah. Di sini. Jangan menoleh dengan bahumu,” instruksi René. “Tegakkan bahu,” tambahnya. Saat Grégoire berjuang mencari posisi paling stabil. Leo justru berhasil melewati ujian itu. Dengan cukup baik. “Sangat perlu konsentrasi,” kata Leo mengenai kunci keberhasilannya. “Namun, begitu kita berkonsentrasi, waktu berlalu dengan cepat,” tambahnya. Bagi instruktur. Yang terpenting. Adalah memastikan para rekrutan baik-baik saja. “Kami harus bertindak cepat jika seseorang merasa tidak enak badan,” ujar René. Pernah ada rekrutan yang jatuh sakit saat latihan? “Pernah. Sering terjadi saat latihan,” jawabnya. Tugas jaga statis. Adalah bagian penting. Dari pekerjaan Garda Swiss sehari-hari. Seorang pengawal bisa menghabiskan waktu hingga empat jam sehari. Untuk menjaga pintu masuk Vatikan.

Namun. Paus tidak selalu berada di dalam Vatikan. Selama 12 tahun terakhir masa kepausannya. Paus Fransiskus juga rajin bepergian ke berbagai belahan dunia. Untuk bertemu langsung dengan umat Katolik. Beliau tak ragu melawat ke negara-negara. Yang dianggap punya risiko keamanan tinggi. Petugas Garda Swiss bertanggung jawab penuh. Dalam mengatur semua detail perjalanannya. Banyak perjalanan internasional Paus. Dilakukan ke negara-negara. Di mana umat Kristen adalah kelompok minoritas.

Sebagai contoh. Pada November 2022. Paus mengunjungi Bahrain. Sebuah negara Arab. Yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Di negara ini. 80 persen penduduknya menganut agama Islam. Setelah menempuh penerbangan selama enam jam. Pesawat yang membawa Paus mendarat mulus. Di Manama. Ibu kota Bahrain. Bahrain adalah sebuah kerajaan kecil. Produsen minyak. Berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa. Negara ini dipimpin oleh monarki yang kuat. Raja Al-Khalifa. Namun. Di sisi lain. Negara ini dikenal punya reputasi yang relatif toleran. Terhadap keberadaan agama lain.

Bagi Bahrain. Kunjungan Paus merupakan peristiwa sangat istimewa. Pihak kerajaan telah menyiapkan sambutan. Yang terbilang mewah. Namun. Kemewahan itu. Berlainan dari kebiasaan Paus Fransiskus. Beliau justru datang menggunakan mobil Fiat 500 sederhana. Dan duduk di samping sopirnya. Mobil itu. Telah menjadi simbol. Bagi Paus Fransiskus. Ia telah memutuskan untuk menjadikan kesederhanaan. Serta kesopanan. Sebagai prinsip utama kepausannya.

Bagi Paus Fransiskus. Perjalanan diplomatik ke negara-negara muslim. Sangatlah penting. Perjalanan ini. Berfungsi membangun hubungan langsung. Dengan para pemimpin di negara-negara tersebut. Sehingga. Beliau dapat memperjuangkan kepentingan umat Kristiani. Yang tinggal di sana. Paus memainkan peranan penting. Dalam upaya perdamaian dunia. Sehingga kunjungan semacam ini. Sangat krusial. Ini adalah kunjungan bersejarah. Dan punya bobot penting secara politik. Kunjungan ini juga memperkuat hubungan antaragama.

Keesokan harinya. Adalah hari penting bagi Paus. Beliau akan menyampaikan pidato. Di hadapan 80.000 umat Katolik. Yang datang dari berbagai penjuru. Di Bahrain. Umat Katolik sebagian besar adalah para pekerja imigran dari Asia. Terutama dari Filipina dan India. Para personel Pengawal Garda Swiss. Telah siaga di lokasi sejak pagi. Melakukan inspeksi terakhir. Sebelum kedatangan Paus.

Marco. Salah seorang personel Garda Swiss. Bertindak sebagai pemimpin tim pengamanan. Ini adalah perjalanan dinasnya yang ke-10 bersama Paus. “Kami memeriksa area untuk mobil Paus. Jalur antara penghalang. Dan apakah ada relawan untuk menjaga area itu,” jelas Marco. “Kami tidak boleh lengah. Harus selalu siaga. Makanya kami agak cemas,” tambahnya. Di area tribun. Terlihat 30.000 umat Katolik. Sebagian besar berasal dari Asia. Mereka adalah representasi umat Katolik baru. Yang ingin dirangkul Paus. Misa berlangsung tanpa insiden.

Kembali ke Roma. Setelah delapan bulan. Menjalani latihan rutin nan ketat. Para pengawal muda Garda Swiss mulai terlihat percaya diri. Léo. Pemuda yang rekamannya saat meninggalkan keluarga kami saksikan sebelumnya. Telah banyak berubah. “Ini pengalaman luar biasa. Saya masih menikmatinya seperti dulu,” kata Leo. “Saya selalu mengatakan. Ini adalah pilihan terbaik dalam hidup saya,” tambahnya penuh keyakinan. “Ini adalah pengalaman belajar yang luar biasa. Dan emosional,” lanjutnya. Leo merasa jauh lebih percaya diri. Serta lebih tenang. “Kami semua jauh lebih tenang,” ujarnya. Banyak yang berkata. Ada perubahan besar pada seseorang. Setelah menjalani dua tahun di Garda Swiss. Sering kali mereka menjadi jauh lebih tenang.

Pelatihan militer mereka terus ditingkatkan. Hari ini. Para rekrutan dilatih. Menangani skenario serangan teroris di Vatikan. Apa itu mungkin terjadi? “Tentu ini bisa terjadi di mana pun. Bahkan di Swiss,” jawab instruktur. “Di Vatikan, ada Paus, ada Gereja. Tidak semua orang menyukainya. Untungnya, tidak ada serangan selama beberapa tahun terakhir,” lanjutnya. “Tetapi itu bisa terjadi kapan saja.”

Sekali lagi. Instruktur berpengalaman dari tentara Swiss. Datang ke Roma. Untuk melatih para rekrutan. Dalam menghadapi situasi nyata. Tujuannya. Untuk mengidentifikasi. Serta mengamankan semua individu. Yang bersenjata. Latihan dimulai di balik sebuah pintu. Skenarionya. Teroris berhasil masuk. Ke ruang bawah tanah Vatikan. Mereka bersenjata. Dan menyandera banyak orang.

Léo dan rekan-rekannya. Harus belajar mengendalikan stres. Di bawah tekanan tinggi. Tujuan utama mereka. Mengamankan teroris. Tanpa melukai warga sipil yang disandera. Didorong oleh iman kepercayaan mereka. Léo dan Grégoire. Menyatakan kesiapan penuh. Untuk mengabdi. Melindungi Bapa Suci. Apa Anda benar-benar siap mengorbankan diri. Atas nama agama. Demi Paus? “Tentu saja,” jawab Grégoire tanpa ragu. “Sulit menjelaskannya. Saat datang ke sini, kami tahu harus mengabdikan hidup kami. Itu hal yang pasti. Dan kami sanggupi,” tegasnya.

Siap membunuh. Atau terbunuh. Apa kamu siap membunuh. Atas nama Tuhan? “Entahlah. Menurut saya, membunuh atas nama Tuhan tetap merupakan hal terburuk. Yang seseorang dapat lakukan,” jawab salah seorang rekrutan merefleksikan. “Tapi, jika ada yang berlari sambil mengacungkan pisau ke arah Paus,” lanjutnya. “Saya tidak akan bangga membunuh orang itu. Tetapi itu perlu dilakukan. Demi kebaikan Gereja,” ujarnya. “Kita tidak bisa selalu memaafkan semuanya,” tambahnya, menjelaskan dilema moral yang mungkin dihadapi.

Terletak di dalam Vatikan. Sebuah gudang senjata kuno. Menjadi saksi bisu. Dari tradisi panjang militer ini. Di sana tersimpan pedang-pedang. Milik para perwira Garda Swiss. Mana pedang komandan? Ini pedang komandan. Apa ini pedang sungguhan? Bisa melukai orang? “Betul, ini pedang sungguhan,” jawab penjaga gudang. Helm. Serta pelindung dada dari baja ini. Sebagian berasal dari abad ke-16. Dan uniknya. Masih digunakan oleh Garda Swiss. Beberapa baju zirah seperti ini. Punya nilai sejarah. Dan harganya sangat mahal. “Yang ini untuk komandan. Ini wakil komandan,” jelasnya sambil menunjuk. Terlihat juga lambang-lambang kepausan. “Ini lambang Bapa Suci, Benediktus XVI, yang dibuat saat masa kepausannya. Dan yang ini dibuat setelahnya, saat masa kepausan Fransiskus,” tuturnya. Berapa perkiraan harga pelindung dada semacam ini? “Sekitar 15.000 euro,” jawabnya. Jika dikonversi. Nominal itu mencapai sekitar Rp 267 juta.

Sekilas tidak begitu kentara. Tapi baju zirah yang dipakai saat ini. Banyak yang merupakan buatan baru. Baju ini dibuat secara tradisional. Seluruhnya ditempa memakai tangan. Vatikan secara khusus menemukan. Sebuah keluarga pandai besi. Yang masih melestarikan metode kuno ini. Untuk dapat membuatnya. Mereka tinggal di Austria. Di Pegunungan Alpen. Dan menjalankan tradisi pandai besi. Yang telah ada sejak Abad Pertengahan. Johan. Dan saudaranya. Georg. Berasal dari keluarga pengrajin. Yang punya garis keturunan. Yang bisa ditelusuri hingga abad ke-14. “Kami diajarkan menjadi pandai besi oleh ayah. Dan ayah kami diajarkan oleh kakek, dan seterusnya,” cerita mereka. “Diwariskan dari generasi ke generasi. Kami menggunakan teknik tradisional. Seperti di Abad Pertengahan,” tambahnya. Nama keluarga mereka. Schmiedberger. Secara harfiah punya makna ‘pandai besi dari gunung’.

Generasi penerus. Sudah ada. Maximilian. Putra Georg. Baru berusia empat belas tahun. Namun. Sudah bekerja penuh waktu di bengkel ini. Saat ini. Keluarga Schmiedberger. Menempa semua senjata tradisional. Yang digunakan Garda Swiss. Membuat satu set baju zirah lengkap. Membutuhkan waktu antara 100 hingga 400 jam kerja manual. Namun saat laporan ini dibuat. Mereka sedang menyelesaikan pesanan terakhir dari Vatikan. Yakni. Tombak. Senjata paling ikonik dari Garda Swiss.

Senjata tombak ini. Punya banyak fungsi. Bagian kapaknya. Berfungsi untuk memukul musuh. Seperti ini. Bagian kailnya. Berguna untuk menarik musuh ke bawah. Dan ujungnya. Tentu saja. Untuk menusuk.

Sekitar 500 tahun silam. Hampir seluruh personel Pengawal Garda Swiss tewas. Ketika pasukan Raja Charles V merebut Vatikan. Setiap tahun. Untuk memperingati pengorbanan heroik mereka. Anggota baru disumpah pada tanggal 6 Mei. Bertepatan dengan hari peringatan pembantaian tersebut. Beberapa jam lagi. Léo. Dan rekan-rekan seangkatannya. Akan mengucapkan sumpah suci mereka. Di hadapan Paus. Mereka semua. Akan mengenakan baju zirah yang terkenal itu. Beratnya mencapai lima belas kilogram baja. Yang harus mereka kenakan. Selama enam jam penuh.

“Kami bersumpah untuk setia. Untuk selalu berada di sisi Paus selamanya,” ucap salah seorang rekrutan mengenai makna sumpah itu. “Bahkan setelah masa tugas selesai, kami tetaplah seorang pengawal. Ini sumpah yang serius,” tegasnya. Upacara ini. Sangat ditunggu-tunggu oleh orang tua Leo. 32 tahun silam. Di tempat yang sama. Sang ayah juga mengucapkan sumpahnya. Bagaimana rasanya kembali lagi ke Lapangan Santo Petrus? “Sekali menjadi pengawal. Selalu jadi pengawal,” jawab sang ayah penuh haru. “Meskipun saya pulang ke Swiss setelah dua tahun. Sebagian hati saya tetap berada di sini. Karena tempat ini ibarat rumah,” tambahnya. “Kami langsung merasa seperti di rumah,” timpal ibunda Leo.

“Apa Anda merasa Léo sudah dewasa?” tanya jurnalis. “Ya. Dia sudah dewasa. Ya,” jawab ayahnya bangga. “Dia telah belajar mandiri,” tambahnya. Sebagai pengecualian. Keluarga para rekrutan baru. Diizinkan memasuki area Kota Vatikan. Ke-36 pemuda ini. Yang baru saja menginjak usia dewasa. Akan bersumpah melayani Paus Fransiskus. Dan penerus sahnya. Jika perlu. Hingga titik darah penghabisan. Suara Grégoire. Penuh semangat saat mengucapkan sumpahnya.

Setelah menuntaskan masa tugas dua tahun. Léo dan Grégoire. Serta rekan-rekan seangkatan mereka. Harus membuat pilihan besar. Kembali ke Swiss. Dan menjadi warga negara biasa. Atau. Bergabung kembali. Dan meneruskan tradisi luhur. Yang telah terawat selama lebih dari 500 tahun. Bersama Garda Swiss. Pasukan terakhir. Pelindung setia Paus. (Red)

Halaman: 1 2
Rekomendasi