
BERITATERBERITA – Di Dusun Wamsait, Desa Dava, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, sebuah pemandangan memprihatinkan terus tersaji.
Area yang dikenal sebagai Gunung Botak menjadi saksi bisu aktivitas tambang emas ilegal yang seolah tak tersentuh tindakan serius dari Pemerintah Republik Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kondisi ini menciptakan keresahan mendalam bagi banyak pihak.
Situasi di lokasi tambang emas ilegal Gunung Botak bukan sekadar pelanggaran hukum biasa.
Sudah banyak insiden tragis terjadi, merenggut nyawa warga negara Indonesia yang juga penduduk Kabupaten Buru.
Mereka adalah saudara-saudara kita yang berjuang mengais rezeki demi keluarga, namun nyawa mereka seakan memiliki nilai yang begitu rendah di mata pihak berwenang, seperti debu yang mudah diabaikan.
Tak hanya korban jiwa, ancaman serius juga datang dari penggunaan berbagai bahan kimia beracun di area tambang emas ilegal Gunung Botak.
Zat berbahaya ini bebas digunakan, menyebar, dan mengancam keselamatan semua makhluk hidup serta merusak ekosistem lingkungan secara luas.
Ironisnya, belum terlihat adanya peringatan keras atau sanksi tegas dari aparat keamanan maupun para pengambil kebijakan di wilayah yang sebenarnya terkenal sebagai penghasil minyak kayu putih ini.
Padahal, aktivitas penambangan emas ilegal ini jelas merupakan tindak pidana.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) secara tegas mengatur hal ini dalam Pasal 158, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun bagi pelakunya.
Namun, peraturan yang ada ini terkesan belum dijadikan instrumen efektif oleh aparat atau pemerintah pusat dan daerah untuk menghentikan kegiatan tambang tanpa izin tersebut.
Derita Warga dan Dampak Lingkungan
Korban jiwa yang berjatuhan di area tambang emas ilegal Gunung Botak menjadi catatan kelam.
Mereka yang tertimpa musibah umumnya adalah penambang rakyat yang mencoba mencari nafkah di tengah kesulitan ekonomi.
Kisah pilu mereka yang harus kehilangan nyawa saat berjuang menghidupi keluarga seharusnya menjadi perhatian utama, namun respons yang diharapkan terasa kurang maksimal, menambah luka bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bersamaan dengan risiko keselamatan jiwa, lingkungan di sekitar Gunung Botak menghadapi ancaman serius.
Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses penambangan emas ilegal tidak hanya meracuni tanah dan air, tetapi juga mengancam kesehatan penambang sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
Dampak jangka panjang pencemaran ini bisa merusak sumber daya alam dan mengganggu mata pencaharian lain, termasuk potensi industri minyak kayu putih di wilayah tersebut.
Minimnya tindakan pencegahan atau penegakan hukum terkait peredaran dan penggunaan zat beracun ini sangat mengkhawatirkan.
Jerat Hukum yang Tumpul?
Keberadaan Pasal 158 UU Minerba sesungguhnya memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak praktik tambang emas ilegal.
Pasal ini secara eksplisit melarang kegiatan penambangan tanpa izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat, atau izin usaha penambangan khusus.
Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam pasal ini seharusnya cukup efektif untuk memberikan efek jera.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa UU Minerba tersebut terkesan belum diterapkan secara optimal.
Aktivitas tambang emas ilegal di Gunung Botak terus berjalan, bahkan meluas, tanpa adanya upaya sistematis dan berkelanjutan dari aparat penegak hukum atau pemerintah untuk menghentikannya.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait efektivitas pengawasan dan penegakan aturan yang ada.
Misteri Alat Berat dan Koperasi yang Disorot
Situasi di Gunung Botak semakin diperparah dengan beroperasinya sejumlah alat berat.
Mesin-mesin seperti loader dan dump truck digunakan untuk mengeruk dan mengumpulkan material yang mengandung emas.
Adanya alat berat ini menandakan adanya operasi tambang ilegal berskala lebih besar, bukan sekadar penambangan tradisional, yang tentu saja mempercepat laju kerusakan lingkungan.
Saat dikonfirmasi kepada salah seorang operator alat berat di lokasi, ia mengklaim bahwa peralatan tersebut milik sebuah koperasi bernama Koperasi PT.
Namun, operator tersebut tidak dapat menunjukkan dokumen atau bukti kepemilikan resmi dari koperasi yang dimaksud.
Ia hanya mengarahkan untuk mencari informasi ke kantor mereka yang disebut berlokasi di Bandar Angin, Dusun Sehe, Kecamatan Namlea, Desa Namlea.
Penelusuran lebih lanjut mengindikasikan bahwa Koperasi PT yang disebut-sebut mengoperasikan alat berat tersebut diketuai oleh seseorang bernama Helena.
Koperasi ini diduga mengoperasikan lima unit alat berat, terdiri dari dua unit loader dan tiga unit dump truck.
Informasi yang didapat juga menguatkan indikasi bahwa Koperasi PT ini statusnya belum berizin atau ilegal.
Operasi alat berat oleh entitas yang status hukumnya dipertanyakan ini menambah lapisan kerumitan dalam penanganan masalah tambang emas ilegal di Gunung Botak.
Situasi di Gunung Botak, Buru, adalah potret kompleksitas masalah tambang emas ilegal yang melibatkan keselamatan jiwa, kerusakan lingkungan, dan penegakan hukum.
Kematian para penambang, pencemaran lingkungan akibat bahan beracun, serta dugaan keterlibatan koperasi yang belum berizin dalam pengoperasian alat berat berskala besar, semuanya mengarah pada kebutuhan mendesak akan tindakan tegas dan terkoordinasi dari seluruh pihak berwenang.
Nasib warga dan kelestarian lingkungan di wilayah yang kaya potensi ini patut menjadi prioritas utama. (Dhet)