
HMI Namlea kritik kebijakan Gubernur Maluku
BERITATERBERITA – Langkah Gubernur Maluku terkait penertiban aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Gunung Botak menuai sorotan tajam dari organisasi kemahasiswaan.
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea, Abdula Fatcey, melayangkan kritik pedas terhadap surat Gubernur Maluku tertanggal 19 Juni 2025.
Surat tersebut meminta Kepolisian Daerah Maluku untuk melakukan penertiban dan pengosongan aktivitas PETI di kawasan Gunung Botak.
Menurut Abdula Fatcey, tindakan yang diambil oleh Gubernur Maluku perlu dianalisis lebih dalam, terutama dari sudut pandang keadilan sosial, konflik agraria, dan legitimasi kebijakan sumber daya alam.
Ribuan Warga Bergantung pada Tambang Rakyat
Abdula Fatcey mengungkapkan bahwa surat Gubernur Maluku seolah mengabaikan fakta struktural di lapangan.
Ribuan warga Buru telah menggantungkan mata pencahariannya dari aktivitas pertambangan rakyat di Gunung Botak selama bertahun-tahun.
Meskipun aktivitas tambang tersebut secara formal dianggap ilegal, namun telah menjadi sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat.
Hal ini terjadi karena belum optimalnya peran negara dalam menyediakan pekerjaan yang layak dan infrastruktur pendukung bagi masyarakat setempat.
Oleh karena itu, Abdula menilai bahwa penertiban tanpa solusi jangka panjang berpotensi menjadi tindakan represif terhadap warga miskin.
Warga miskin tersebut berjuang untuk bertahan hidup di kawasan tambang Gunung Botak.
Landasan Hukum Dianggap Tidak Teknokratis
Lebih lanjut, Abdula menyoroti landasan hukum yang dijadikan rujukan dalam surat Gubernur Maluku.
Menurutnya, landasan hukum tersebut terkesan tidak teknokratis dan mengesampingkan hak-hak masyarakat.
Surat tersebut merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 serta dua Keputusan Menteri ESDM.
Namun, surat tersebut dinilai tidak menyertakan pendekatan sosiologis dan yuridis yang komprehensif terkait status tanah, hak ulayat, atau konflik agraria yang belum terselesaikan.
Abdula juga menyoroti bahwa surat tersebut tidak menyinggung isu status kepemilikan tanah di kawasan Gunung Botak.
Status kepemilikan tanah masih menjadi polemik antara negara, masyarakat adat, maupun para pemilik hak ulayat.
Kecurigaan Terhadap Kepentingan Ekonomi Besar
Selain itu, Abdula menyoroti kurangnya transparansi terkait aktor dan kepentingan ekonomi besar di balik rencana “penertiban” tersebut.
Hal ini menimbulkan kecurigaan di kalangan publik.
“Apakah ini murni bertujuan untuk menegakkan hukum atau justru membuka jalan bagi kepentingan investasi korporasi tambang yang ingin menguasai konsesi emas Gunung Botak secara legal?” tanya Abdula pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Tanpa adanya partisipasi publik dan perlindungan terhadap masyarakat lokal, kebijakan ini dikhawatirkan akan dianggap sebagai bentuk penggusuran legal atas nama penataan tambang.
Abdula juga mempertanyakan posisi koperasi yang seharusnya menjadi representasi ekonomi rakyat dalam pengelolaan tambang.
Jika koperasi justru dikendalikan oleh elit-elit politik dan tidak mewakili kepentingan warga penambang lokal, maka kebijakan ini hanya akan memperkuat ketimpangan ekonomi.
Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi memperluas ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Abdula mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memang mensyaratkan legalitas dalam kegiatan tambang.
Namun, hal ini tidak berarti pemerintah dapat mengabaikan prinsip keadilan ekonomi dan hak atas penghidupan yang layak.
Prinsip ini dijamin dalam Pasal 27 dan 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Abdula menekankan bahwa penertiban Gunung Botak tidak dapat dipandang hanya sebagai penegakan hukum administratif semata.
Menurutnya, tanpa penyelesaian masalah struktural, kejelasan hak tanah, perlindungan penambang rakyat, dan partisipasi publik yang otentik, kebijakan Gubernur Maluku ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.
“Pemerintah seharusnya lebih bijak, mengutamakan dialog, skema legalisasi tambang rakyat, dan transformasi ekonomi lokal yang berkeadilan,” pungkas Abdula. (DHET)