
BERITATERBERITA – Pernahkah Anda merenungkan tentang jumlah teman yang Anda miliki? Berapa di antaranya yang benar-benar dekat dan bisa diandalkan?
Di era yang serba terhubung ini, dengan jutaan orang dapat dijangkau melalui media sosial, ironisnya, penelitian justru menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang lebih aktif seringkali merasa lebih kesepian dan rentan terhadap depresi.
Survei juga mengindikasikan bahwa jumlah teman yang dimiliki orang saat ini cenderung lebih sedikit dibandingkan generasi sebelumnya.
Sebuah video dari kanal YouTube “kelas kehidupan by 1%” mencoba mengupas fenomena ini lebih dalam dan memberikan pencerahan.
Menurut berbagai studi, delapan dari sepuluh anggota Generasi Z (Gen Z) merasa terisolasi.
Ternyata, Gen Z juga mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan di tempat kerja. Hanya 24% dari mereka yang berhasil berteman melalui pekerjaan mereka.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya.
Ironisnya lagi, 82% dari pertemanan ini biasanya berakhir ketika salah satu pihak mengundurkan diri dari pekerjaan atau lulus dari perguruan tinggi.
Lantas, seberapa pentingkah memiliki teman di era modern ini?
Sebagian besar orang setuju bahwa teman tetap memegang peranan penting dalam hidup.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sepenuhnya sendiri. Kita membutuhkan teman untuk berbagi, bercerita, dan saling mendukung.
Meskipun penting, kualitas pertemanan tampaknya lebih diutamakan daripada kuantitas.
Banyak yang merasakan bahwa seiring bertambahnya usia, lingkaran pertemanan mungkin menyempit, namun hubungan yang terjalin menjadi lebih berkualitas dan bertahan lama.
Pandangan mengenai pentingnya pertemanan bisa berbeda-beda bagi setiap individu.
Ada yang menganggap teman penting jika bisa saling membantu dan hadir saat dibutuhkan.
Namun, ada pula yang merasa bahwa pertemanan tidak harus selalu dekat secara fisik, namun tetap memiliki arti dalam hidup.
Lingkungan pertemanan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan diri dan masa depan seseorang.
Contohnya, dalam dunia atlet, lingkungan yang positif dan suportif dapat memotivasi untuk terus berprestasi. Sebaliknya, lingkungan yang kurang baik berpotensi membawa pengaruh negatif.