
Pada pagi hari Idul Adha, sekitar pukul 05.30, mereka berangkat menuju Harmoni, dekat dengan Istana Merdeka.
Di sana, mereka berbagi tugas. Sanusi bertugas menembak pertama sebagai tanda bagi Harun untuk melepaskan tembakan ke arah Soekarno, dan Hidayat bertugas melemparkan granat ke arah kerumunan jemaah yang panik.
Harun berhasil masuk ke dalam istana dan mengikuti jalannya salat. Namun, di tengah ibadah, Harun tiba-tiba disergap perasaan takut dan keraguan.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Astaghfirullah… Apakah yang aku lakukan ini benar? Penembakan ini pasti menimbulkan korban jiwa tak berdosa,” gumam Harun dalam hati.
Harun kemudian membatalkan niat jahatnya dan menyembunyikan pistol FN di bawah tikar alas salat.
Setelah selesai salat, Harun berhasil keluar dari istana dan lolos dari penggeledahan petugas. Ia kemudian melarikan diri ke arah Kampung Pulo dan bertemu dengan Hidayat.
“Gimana, Run? Soekarno sudah kamu bikin mati?” tanya Hidayat.
“Gagal. Lihat, pistolku macet,” jawab Harun.
Hidayat pun mengikuti jejak Harun. Ia membatalkan niatnya untuk masuk ke dalam istana dan membuang granat yang dibawanya ke Sungai Cisadane.
Di tempat lain, Hamdan dan Abidin mendengar berita tentang kegagalan upaya pembunuhan Bung Karno melalui radio.
Mereka kemudian melarikan diri ke daerah Cianjur.
Seluruh pelaku percobaan pembunuhan pada Idul Fitri dan Idul Adha yang berjumlah sembilan orang akhirnya berhasil ditangkap.
Mahkamah Angkatan Darat kemudian menjatuhkan vonis mati kepada Sanusi dan Harun pada tanggal 16 Juli 1962.
Hidayat, Hamdan, dan Abuddin juga divonis mati pada tanggal 7 Agustus 1962. Sedangkan Marjuk divonis mati pada tanggal 2 Oktober 1962.
Untuk tiga orang lainnya, yaitu Dahlia, Anwar, dan Kholil, dihukum penjara seumur hidup pada tanggal 11 September 1962.
Kartosuwiryo sendiri berhasil ditangkap pada tanggal 5 Juni 1962.
Ia dinyatakan bersalah karena berupaya melakukan makar untuk merobohkan Negara Republik Indonesia, memberontak kepada pemerintahan yang sah, dan berupaya membunuh kepala negara sebanyak dua kali berturut-turut, yaitu pada Idul Fitri dan Idul Adha.
Atas kejahatannya tersebut, Mahkamah Angkatan Darat menjatuhkan hukuman mati kepada Kartosuwiryo pada tanggal 16 Agustus 1962.
Menurut Malwi Saelan, Haji Bahrun, orang yang memberikan undangan masuk istana kepada Sanusi, juga ditangkap atas tuduhan mengatur rencana dan memerintahkan pembunuhan.
Menurut Ario Helmi, penulis biografi Zainul Arifin, setelah kejadian upaya pembunuhan terhadap Soekarno di Hari Raya Idul Adha, presiden tidak pernah lagi melaksanakan salat di tempat terbuka.
Sementara itu, untuk keperluan pengamanan presiden, akhirnya dibentuklah satuan tugas khusus pengamanan pada tanggal 6 Juni 1963, bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno.
Pasukan khusus pengamanan presiden ini diberi nama Resimen Cakrabirawa. (Red)