
Setelah Trump berhasil mengamankan masa jabatan keduanya, Musk bahkan memberikan dukungan finansial yang sangat besar, mencapai lebih dari Rp 1,6 triliun, untuk membantu Trump memenangkan jabatan presiden AS.
Ia juga beberapa kali tampil di panggung kampanye bersama Trump di ‘Mar-a-Lago’.
Banyak yang berspekulasi tentang peran Musk dalam pemerintahan Trump, terutama setelah Trump mengisyaratkan bahwa Musk bisa mangawal dan jadi komando dalam upaya pemberantasan pemborosan anggaran negara.
Namun, tidak banyak yang menyangka bahwa Musk, seorang pengusaha teknologi berusia 53 tahun itu akan diberikan posisi yang begitu dekat dengan presiden terpilih.
Apalagi dengan membawa timnya yang terdiri dari para pemuda ahli teknologi berusia 20-an.
Kehadiran mereka di infrastruktur pemerintahan memicu kekhawatiran banyak pihak.
Muncul laporan-laporan yang menyebutkan bahwa tim Musk di Departemen Efisiensi Pemerintah (yang secara tidak resmi dijuluki “Doge”) memiliki kewenangan yang sangat luas, termasuk memberhentikan pegawai sesuka hati, menutup departemen secara tiba-tiba, dan bahkan dikhawatirkan mengancam keamanan stok senjata nuklir negara serta upaya pemberantasan HIV/AIDS di Afrika.
Menurut sebuah departemen pelaporan, tim Musk di Departemen Efisiensi Pemerintah bertanggung jawab atas pemberhentian atau pemaksaan pengunduran diri sekitar 200.000 pegawai pemerintah.
Ketika departemen ini dibentuk, tujuannya adalah untuk menghemat uang pembayar pajak hingga Rp 16 kuadriliun.
Situs web departemen tersebut mengklaim telah menghemat total Rp 2,24 triliun, atau sekitar Rp 13.913.120 untuk setiap pembayar pajak.
Akan tetapi, banyak “bukti” penghematan yang dipublikasikan kemudian dihapus setelah media dan politisi dari Partai Demokrat menyoroti bahwa klaim tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
The New York Times bahkan menerbitkan artikel dengan judul: “Saksikan Bagaimana Tim Elon Musk Menggelembungkan, Menghapus, dan Menulis Ulang Klaim Penghematannya.”