Demo di Polres Buru: Desak Tangkap Oknum Tambang Ilegal Berkedok Koperasi

Keresahan masyarakat telah mencapai puncaknya, memicu aksi di depan Polres Buru (Foto: Dhet)

Karena koperasi yang dibentuk atas nama masyarakat lokal tersebut pada praktiknya justru dikuasai oleh pihak luar yang datang dengan modal besar dan didukung jaringan kekuasaan yang kuat, menciptakan ketimpangan yang menganga.

Koperasi-koperasi ini diduga kuat hanya berfungsi sebagai formalitas legalitas semata, sebuah topeng hukum, sementara kendali operasional sesungguhnya dan keuntungan utama dari aktivitas tambang justru jatuh seluruhnya ke tangan perusahaan-perusahaan besar yang pandai menyamarkan identitas dan kepentingan mereka di balik bendera ‘koperasi rakyat’.

Akibat dari praktik culas yang berlindung dalam proteksi legalitas semu semacam ini, masyarakat lokal di tanah mereka sendiri justru terpinggirkan.

Mereka hanya menjadi penonton yang getir menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk, atau paling banter, hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar dengan upah minim.

Pendapatan signifikan yang dihasilkan dari aktivitas tambang tidak mengalir secara adil dan merata kepada warga setempat yang merupakan pemilik sah lahan adat tersebut.

Situasi ini, diperparah oleh kesenjangan dalam penguasaan sumber daya alam yang mencolok, memicu konflik sosial yang semakin meningkat di lapisan masyarakat bawah.

Berangkat dari berbagai alasan mendasar yang melatar belakangi argumen penolakan dan keresahan mendalam ini, masyarakat menyampaikan desakan keras kepada Polres Buru.

Daftar Tuntutan Kepada Polres Buru

Mereka mendesak agar Polres Buru segera mengambil tindakan tegas, yaitu menangkap secara terbuka siapa saja pihak yang sebenarnya bermain di balik layar koperasi-koperasi tambang ilegal tersebut.

Penangkapan ini harus diikuti dengan penelusuran tuntas terhadap aliran modal dan pembongkaran struktur pengendali sebenarnya yang selama ini diduga bersembunyi.

Secara spesifik, para pengunjuk rasa kembali menegaskan permintaan mereka kepada Polres Buru untuk menangkap nama-nama berikut yang mereka anggap sebagai aktor utama:

  1. Helena
  2. Ruslan Arif Suamole alias Ucok
  3. Pemilik alat berat berinisial Tiong

Ketiganya diduga kuat menjadi aktor penting di balik masuknya entitas koperasi ke wilayah tersebut dan dimulainya aktivitas penambangan secara masif bahkan sebelum Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sah diterbitkan, menambah bobot pelanggaran yang dituduhkan.

Selain mendesak aparat penegak hukum, masyarakat juga menyampaikan pesan dan harapan kepada lembaga legislatif di tingkat lokal.

Mereka percaya bahwa DPRD Kabupaten Buru, sebagai wakil rakyat, masih memiliki kewenangan dan keberanian untuk secara konsisten berpihak pada rakyat yang menderita, bukan hanya terlena pada godaan oligarki yang bersembunyi di balik kedok koperasi demi keuntungan sesaat.

Gunung Botak, pungkas orator dengan nada penuh penekanan, bukanlah sekadar kawasan tambang yang bisa dieksplorasi untuk keuntungan segelintir orang atau perusahaan luar.

Ia adalah ruang hidup masyarakat Buru yang memiliki nilai sakral dan historis.

“Jangan biarkan koperasi dijadikan alat atau kedok eksplorasi oleh segelintir orang yang hanya memikirkan untung tanpa peduli nasib rakyat dan kelestarian lingkungan,” tutupnya, sebuah pesan keras bagi aparat dan semua pihak terkait dengan penanganan masalah tambang di wilayah tersebut. (DHET)

Halaman: 1 2 3Show All
Rekomendasi