Ketegangan Meningkat: Konflik Israel-Suriah Ancam Stabilitas Timur Tengah!

Konflik Israel-Suriah Ancam Stabilitas Timur Tengah (Foto: Red Flag)

Di Suriah sendiri, jumlah komunitas Druze jauh lebih besar, mencapai sekitar 700.000 orang.

Mereka merupakan salah satu komunitas minoritas terbesar di Suriah.

Setelah terjadinya perubahan pemerintahan, komunitas Druze di Suriah telah mendesak pemerintah yang baru untuk secara tegas menegakkan hak-hak minoritas di negara tersebut.

Meskipun terdapat berbagai faksi dan perbedaan pendapat di dalam komunitas Druze Suriah, para pengamat menilai bahwa mayoritas dari mereka menolak tawaran “perlindungan” dari Israel.

Sejauh ini, pemerintah sementara Suriah yang dipimpin oleh Presiden Ahmad al-Sharaa telah menyatakan komitmennya untuk fokus pada persatuan nasional.

Ahmad al-Sharaa, yang dulunya merupakan pemimpin HTS (milisi yang menggulingkan Assad), telah berulang kali menyampaikan bahwa semua kelompok etnis dan agama minoritas di Suriah, termasuk Kurdi, Kristen, Druze, dan Alawit, harus dilibatkan secara aktif dalam menjalankan roda pemerintahan negara.

Namun, menurut pandangan Andreas Krieg, hal terakhir yang diinginkan oleh Israel adalah terbentuknya pemerintahan yang inklusif di Suriah.

Pemerintahan yang inklusif berpotensi menstabilkan negara tersebut, sehingga Suriah memiliki kemampuan untuk melawan Israel.

Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft yang berbasis di Washington, memberikan pandangannya melalui unggahan di platform media sosial X pada awal Maret.

Parsi menulis bahwa Israel telah lama mempraktikkan apa yang dikenal sebagai “doktrin pinggiran”.

Doktrin ini melibatkan upaya Israel untuk mencari aliansi dengan kelompok-kelompok minoritas non-Muslim, seperti Druze, serta negara-negara di sekitar wilayah tersebut sebagai strategi untuk meningkatkan keamanan nasionalnya sendiri.

Para pengamat juga menambahkan bahwa pernyataan-pernyataan yang cenderung memecah belah terkait upaya membela kaum minoritas juga terkait erat dengan bagian lain dari strategi Israel di Suriah.

Strategi tersebut melibatkan penempatan pasukan Israel di lapangan. Meskipun strategi ini mungkin memberikan hasil positif dalam jangka pendek, namun Andreas Krieg meyakini bahwa hal tersebut tidak akan menghasilkan keamanan jangka panjang yang berkelanjutan.

“Israel sudah melihat dirinya sendiri bahwa mereka masih dikelilingi oleh musuh,” jelas analis militer tersebut.

“Dalam benak mereka, sejak tahun 1948 ketika Israel berdiri, mereka telah berperang melawan semua negara tetangganya. Jadi tidak ada kepercayaan…  alih-alih terlibat dengan kepemimpinan baru (Suriah), Israel kembali berhadapan dengan berbagai konfrontasi,” pungkasnya. (Red)

Halaman: 1 2 3Show All
Rekomendasi